2024-03-29T08:17:26Z
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/oai
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/1010
2017-09-21T22:35:11Z
lexprivatum:ART
KEDUDUKAN NASABAH DALAM PERJANJIAN BAKU YANG DILAKUKAN OLEH BANK
Korah, Pricylia A.
Sektor perbankan merupakan urat nadi perekonomian Indonesia karena disinilah lalu lintas transaksi keuangan terjadi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rakyat yang berkembang pesat. Dalam menjalankan bisnis perbankan dibutuhkan pihak-pihak yang memiliki keterikatan satu sama lain, diantaranya adalah masyarakat (nasabah). Nasabah memiliki peran penting dalam dunia perbankan karena merupakan salah satu sumber dana utama. Bank sendiri adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya. Dari pengertian itu sendiri, dapat dilihat bahwa masyarakat atau nasabah adalah bagian terpenting dalam berjalannnya bisnis perbankan. Lahirnya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, mengantarkan Indonesia pada dua sistem perbankan (dual system banking) yakni sistem bank konvensional dan sistem bank syariah. Bank konvensional kental aromanya dalam mengejar keuntungan materiil (kapitalistik) dengan sistem bunganya, sehingga tidak mengenal adanya kerugian pihak lain. Sedangkan bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank konvensional sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yakni menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali namun lebih menekankan adanya sifat ta’awun (tolong menolong dalam suka dan duka/kemitraan), sehingga ada prinsip bagi hasil yang dikenal dengan nama “profit and loss sharingâ€. Untuk menjalankan bisnis perbankan, perjanjian yang paling sering digunakan adalah jenis perjanjian baku atau standart contract. Dalam perjanjian baku, pihak bank secara sepihak membuat syarat-syarat dan ketentuan yang harus diikuti sepenuhnya oleh nasabah yang mengajukan permohonan dan memiliki kekuatan mengikat. Dimana biasanya dalam pembuatan perjanjian tersebut, nasabah tidak dalam posisi tawar-menawar (bargaining position) yang menguntungkan karena formulir-formulir perjanjian tersebut tidak dibuat didepan kedua pihak melainkan telah ada sebelumnya oleh salah satu pihak dalam hal ini pihak bank. Intinya, kepada nasabah hanya diberikan dua pilihan, yakni menerima atau menolaknya (take it or leave it). Kata kunci: nasabah, bank, perjanjian baku
Universitas Sam Ratulangi
2013-02-18
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1010
LEX PRIVATUM; Vol. 1 No. 1 (2013): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1010/823
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/1011
2017-09-21T22:35:11Z
lexprivatum:ART
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN DITINJAU DARI HUKUM POSITIF INDONESIA
Mamahit, Laurensius
Perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Dimana juga perkawinan merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan bersama antara sesama manusia yang berlainan jenis untuk mewujudkan kesatuan rumah tangga dalam kehidupan suami istri. Dalam pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974   mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sebagai negara yang telah merdeka dan berdaulat penuh, menciptakan suatu sistem hukum nasional yang berorientasi dan berkiblat pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Dengan kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka kedudukan suami-isteri lebih diperhatikan terutama dalam hak dan kewajiban yang seimbang. Apabila seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak-hak masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya. Berbicara mengenai perkawinan campuran, hal ini di atur dalam UU nomor 1 tahun 1974 pasal 57-62 dlm UU ini. Namun sebelumnya mengenai perjkawinan campuran ini telah di atur dalam Regeling op de Gemenvie Huwelijeken Stb. 1898 No. 158 yang terkenal dengan singkatan GHR. Hak dan kewajiban antara suami-istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Setelah dilakukan kajian yuridis mengenai Hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan Campuran maka hal tersebut tidak diatur , baik menurut Hukum Perkawinan Islam , Hukum Adat Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991), yang dalam hal ini semua hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan biasa dan campuran adalah sama. Untuk Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Bab VI, pasal 30 sampai dengan pasal 34, sedangkan menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam. Sehingga ada hal-hal penting yang perlu diperhatikan apabila ada seorang asing atau bukan warga warga negara Indonesia yang akan melakukan perkawinan campuran dengan seorang warga negara Indonesia, hendaknya sudah harus mengetahui mengenai hak dan kewajibannya nanti apabila dia menjadi suami atau isteri dari seorang warga negara Indonesia. Atau dalam kata lain harus mengetahui UU nasional Indonesia dimana Dia akan tunduk pada hukum tersebut setelah dia melangsungkan pernikahan dengan warga negara Indonesia yakni UU nomor 1 tahun 1974. Kata kunci: perkawinan campuran
Universitas Sam Ratulangi
2013-02-18
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1011
LEX PRIVATUM; Vol. 1 No. 1 (2013): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1011/824
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/1012
2017-09-21T22:35:11Z
lexprivatum:ART
ASPEK HUKUM RAHASIA BANK DI INDONESIA
Syamsu, Moh. Rizaldy
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana beralihnya rahasia perusahaan menjadi rahasia bank, dan bagaimana aspek hukum rahaÂsia bank. Melalui penelitian kepustakaan disimpulkan bahwa: 1. Bank sebagai lembaga keuangan mempunyai kewajiban menjaga dan melindungi rahasia bank yang notabone adalah rahasia perusahaan yang berada di bank, karena kegiatan usaha tertentu yang menyebabkan rahasia perusahaan terseÂbut berada di bank. Kewajiban bank ini terkait erat dengÂan amanat hukum dan perundangan tentang kewajiban menyimÂpan rahasia bank walaupun sifatnya rahasia bank adalah terbatas (relatif).  2. Membuka rahasia bank dibolehkan demi untuk kepenÂtingan negara dan kepentingan hukum seperti perpajakan, tindak pidana korupsi, dan lain‑lainnya yang menurut ketentuan perundangan diberikan kewenangan membuka rahasia bank yang juga sebenarnya adalah rahasia perusahaan di bank yang bersangkutan. Rahasia bank manakala berhubungan dengan persaingan antar perusahaan, merupakan lingkup yang penting dari Hukum Persaingan Usaha sebagaimana yang diÂatur oleh Undang‑undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Rahasia bank terkait pula dengan keterbatasannya yang menuntut keterbukaan perusahaan‑perusahaan karena keÂwajiban mendaftar perusahaan, dan pemenuhan pelaporan taÂhunan perusahaan yang menyebabkan sifat rahasia bank menÂjadi terbatas. Walaupun demikian, membuka rahasia bank meÂrupakan tindak pidana yang diancam hukuman penjara dan denÂda yang cukup berat dan besar. Kata kunci: bank, rahasia bank Â
Universitas Sam Ratulangi
2013-02-18
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1012
LEX PRIVATUM; Vol. 1 No. 1 (2013): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1012/825
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/1013
2017-09-21T22:35:11Z
lexprivatum:ART
PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE
Mokoginta, Hatarto
Arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan mereka tersebut diselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk dan angkat sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh hakim tersebut merupakan putusan yang bersifat final (putusan pada tingkat terakhir) dan yang mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakannya. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui bagaimana arbitrase digunakan sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa, (2) Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum mengenai arbitrase menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999.   Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif. Kesimpulan penelitian: (1) Arbitrase dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan sengketa diluar pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari para pihak yang bersengketa. (2) Pranata arbitrase bila ditinjau dari UU No. 30 Tahun 1999 memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pranata peradilan. Sebaiknya pihak arbiter berhati-hati dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase karena tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui  arbitrase,  melainkan  hanya  sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Sebaiknya sosialisasi terhadap peran dan fungsi arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan kepada masyarakat dan kalangan dunia usaha dilakukan mengingat pranata arbitrase memiliki beberapa kelebihan dalam penyelesaian sengketa dibandingkan dengan pranata peradilan.  Kata Kunci: arbitrase, peradilan, perselisihan, penyelesaian sengketa.
Universitas Sam Ratulangi
2013-02-18
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1013
LEX PRIVATUM; Vol. 1 No. 1 (2013): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1013/826
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/1014
2017-09-21T22:35:11Z
lexprivatum:ART
PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH DI KECAMATAN TALIABU UTARA KEBUPATEN KEPULAUAN SULA
Djafarruddin, Tawallani
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahu bagaimanakah proses pelaksanaan pendaftaran tanah di Kecamatan Taliabu Utara Kabupaten Kepulauan Sula, faktor-faktor apa yang menjadi hambatan-hambatan atau kendala-kendala dalam proses pelaksanaan pendaftaran tanah, dan bagaimana usaha-usaha yang dilakukan oleh kantor Pertanahan untuk mengatasi hambatan atau kendala tersebut. Dengan metode yuridis sosiologis dapat disimpulkan bahwa: 1. Pelaksanaan Pendaftaran di Kecamatan Taliabu Utara Kabupaten Kepulauan Sula dilakukan oleh Kantor Pertanahan wilayah Kabupaten Kepulauan sula, pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan melalui proses persiapan yang terdiri dari kegiatan koordinasi dan penyuluhan, proses pelaksanaan yang terdiri dari kegiatan pengumpulan data yuridis, pengumpulan data fisik, pemeriksaan tanah, keputusan pemberian hak atas tanah, proses sertifikat dan penyerahan sertifikat serta laporan. 2. Hambatan-hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Kabupaten Kepulauan Sula khususnya di Kecamatan Taliabu Utara adalah kurangnya informasi kepada masyarakat mengenai cara mendaftaran hak kepemilikan atas tanah, dan biaya yang dibebankan kepada para pendaftar hak atas tanah sehingga kurang minat dari masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya. Kurangnya sumber daya serta kurang optimalnya sarana yang ada juga terbatasnya daya beli pemerintah dalam hal ini BPN terhadap peralatan yang berteknologi mutakhir yang berkemampuan dan berkecepatan tinggi seperti alat-alat GPS dimana selama ini peralatan yang masih dipakai adalah seperti theodolit, tuntutan ketelitian teknis mengenai proses pengadaan data fisik bidang-bidang tanah dan pemeriksaan data yuridis dokumen-dokumen yang menjadi alas hak-hak atas tanah dimana perbedaan luas bidang tanah pada alas hak berbeda dengan luas fisik di lapangan. 3. Usaha-usaha yang ditempuh oleh Kantor Pertanahan Wilayah Kabupaten Kepulauan Sula dalam mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi adalah meningkatkan keterampilan teknis para petugas ukur dalam pengunaan peralatan GPS dan mengikuti perkembangan teknologi pengukuran dan pemetaan, meningkatkan kerjasama disemua sektor antara masyarakat, aparat kelurahan dan panitia ajudikasi, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat kecamatan taliabu utara, melaksanakan penyuluhan hukum secara efektif mengenai pentingnya mendaftarakan tanah serta memberikan program prona kepada masyarakat kecamatan Taliabu Utara mulai dari tahun 2011 sebanyak 500 sertifikat tanah dan tahun 2012 sebanyak 900 sertifikat tanah. Kata kunci: pendaftaran tanah, kecamatan Taliabu Utara
Universitas Sam Ratulangi
2013-02-18
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/vnd.openxmlformats-officedocument.wordprocessingml.document
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1014
LEX PRIVATUM; Vol. 1 No. 1 (2013): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1014/827
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/1015
2017-09-21T22:35:11Z
lexprivatum:ART
PROSPEK DAN TANTANGAN PENERAPAN ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION PADA KONTRAK PENGELOLAAN PORTOFOLIO EFEK
Sumampouw, Petty
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan perjanjian pengelolaan portofolio efek untuk kepentingan nasabah secara keseluruhan, dan bagaimana prospek dan tantangan penerapan ADR pada pengelolaan portofolio efek. Melaluyi metode penelitian kepustakaan disimpulkan bahwa: 1. Sebelum adanya peraturan Bapepam-LK No V.G.6 tentang Pedoman Pengelolaan Portofolio Efek untuk Kepentingan Nasabah Secara Individu, pengelolaan KPD berlangsung didaerah abu-abu (tidak ada kepastian). Dengan adanya peraturan Bapepam-LK No V.G.6 maka sekarang pengelolaan KPD telah meiliki landasan hukum yang pasti dan kuat. Manajer Investasi memiliki ruang gerak yang sangat jelas karena telah ada rambu-rambu dari Bapepam-LK. 2. Terdapat banyak kelebihan dalam menggunakan Alternative Dipuste Resolution yaitu: dijaminya kerahasiaan sengketa para pihak, dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena proseduraldan administrative, para pihak dapat memilih arbiter/mediator/konsiliator, para pihak dapat mementukan pilhan hukum untuk menyelesaikan masalahnya, putusan yang besifat mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan, biaya yang murah dibandingkan pengadilan dan yang terakhir tentu saja proses yang cepat. Kata kunci: alternative dispute resolution, portofolio efek
Universitas Sam Ratulangi
2013-02-18
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1015
LEX PRIVATUM; Vol. 1 No. 1 (2013): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1015/828
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/1019
2017-09-21T22:35:11Z
lexprivatum:ART
ASPEK YURIDIS PERJANJIAN WARALABA SEBAGAI PERJANJIAN KHUSUS
Awaluddin, Marissa Vydia
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan waralaba dalam undang–undang dan bagaimanakah aspek–aspek hukum dari perjanjian waralaba. Dengan menggunakan penelitian kepustakaan disimpulkan bahwa: 1. Ketentuan hukum mengenai waralaba sebagai suatu bentuk perjanjian pada dunia bisnis berpedoman dan tunduk kepada ketentuan yang berlaku bagi sahnya suatu perjanjian. Waralaba atau franchise merupakan suatu bentuk perjanjian, yang lainnya memberikan hak dan kewenangan khusus kepada pihak penerima waralaba, yang dapat terwujud dalam bentuk (1) hak untuk melakukan penjualan atas produk berupa barang dan atau jasa dengan mempergunakan nama dagang atau merk dagang tertentu; (2) hak untuk melaksanakan kegiatan usaha dengan atau berdasarkan pada suatu format bisnis yang tealah ditentukan oleh pemberi waralaba. 2. Perjanjian waralaba harus disusun dnegan cermat agar kerjasama bisnis yang dijalankan menguntungkan kedua belah pihak seimbang. Suatu perjanjian franchise umumnya terdiri dari pasal – pasal tentang objek, tempat berbisnis pemberian wilayah oleh franchisor kepada franchisee, sewa gedung pelatihan dengan bantuan teknik franchisor, standar operasional, pertimbangan keuangan, klausula – klausula kerahasiaan, klausula – klausula yang membahas persaingan, pertanggungjawaban periklanan dan strategi pemasaran, penetapan harga dengan pembelian, status badan usaha perusahaan, hak untuk menggunakan nama dan merek dagang, masa berlaku dan kemungkingan pembaharuan/perpanjangan perjanjian, pengakhiran perjanjian, penafsiran terhadap perjanjian, dengan pilihan hukum. Kata kunci: waralaba, perjanjian khusus
Universitas Sam Ratulangi
2013-02-20
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1019
LEX PRIVATUM; Vol. 1 No. 1 (2013): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1019/832
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/1020
2017-09-21T22:35:11Z
lexprivatum:ART
PRAKTIK PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG KONTRAK BISNIS PERUSAHAAN
Mohune, Riski Siswanto
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum dalam pembuatan suatu kontrak bisnis perusahaan dan bagaimana penyelesaian sengketa di bidang kontrak bisnis perusahaan. Berdasarkan penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Pengaturan hukum dalam pembuatan suatu kontrak bisnis mengacu kepada suatu bentuk perjanjian formal yang diakui secara sah menurut hukum, dan secara umum tidak diatur secara jelas dan tegas terhadap formalitas dari suatu perjanjian. Asas kebebasan berkontrak berdasarkan pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yaitu: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnyaâ€. Dalam praktik, pada umumnya para pihak dari suatu perjanjian (kontrak) bisnis menginginkan perjanjian dibuat setidak-tidaknya dalam bentuk tertulis dan dilegalisir oleh notaris atau dalam suatu bentuk akta notaris (akta otentik); dalam rangka memperkuat kedudukan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak apabila terjadi sengketa. 2. Penyelesaian  sengketa di bidang kontrak bisnis perusahaan dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan KUH Perdata yang menetapkan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian; akan tetapi jika pihak yang melakukan wanprestasi tidak bersedia menyelesaikannya secara musyawarah, maka gugatan dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri yang berwenang dan setelah keputusan diperoleh, dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan keputusan (eksekusi). Kata kunci: kontrak, bisnis perusahaan
Universitas Sam Ratulangi
2013-02-20
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1020
LEX PRIVATUM; Vol. 1 No. 1 (2013): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1020/833
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/1021
2017-09-21T22:35:11Z
lexprivatum:ART
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Situmorang, Ruben
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah tinjauan yuridis terhadap perjanjian kerja bersama (PKB) menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan bagaimanakah hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha dalam pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB) dalam perusahaan. Dengan metode penelitian hukum kepustakaan disimpulkan bahwa: 1. Perjanjian kerja bersama merupakan hasil antara pihak pengusaha dan pihak  pekerja  yang diwakili oleh serikat pekerja. Perjanjian kerja bersama di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tercantum dalam pasal 116 sampai pasal 135, yang mengatur tentang persyaratan yang harus di penuhi untuk pembuatan suatu perjanjian kerja bersama. 2. Hak dan Kewajiban Pekerja/Buruh dan Pengusaha dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama dalam perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 126 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Kata kunci: perjanjian kerja bersama
Universitas Sam Ratulangi
2013-02-20
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1021
LEX PRIVATUM; Vol. 1 No. 1 (2013): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1021/834
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/1022
2017-09-21T22:35:11Z
lexprivatum:ART
PERTANGGUNGJAWABAN SECARA PERDATA DARI BADAN USAHA PERTAMBANGAN TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
Pondaag, Gebrielle Jacqueline
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban Perdata dari badan usaha pertambangan terhadap pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-undang yang berlaku diIndonesia dan bagaimana kewenangan pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan usaha pertambangan. Dengan metode yuridis normatif disimpulkan bahwa: 1. Dalam penegakan hukum lingkungan telah diatur segala bentuk pelanggaran maupun kejahatan, bagi pelaku baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan dengan upaya pencegahan (preventif) maupun penindakannya (represif). Untuk tindakan represif ini ada beberapa jenis instrument yang dapat diterapkan dan penerapannya tergantung dari keperluannya, sebagai pertimbangan antara lain melihat dampak yang ditimbulkannya. Jenis-jenis instrument yang dimaksud meliputi: a. Tindakan Administratif; b. Tindakan Perdata (proses perdata); c. Tindakan Pidana (proses pidana). 2. Wewenang atau kewenangan atau bevoegdheid dari pemerintah adalah hak untuk mengatur. Wewenang mengatur atau peraturan berkaitan dengan kekuasaan atau otoritas yang harus ditaati oleh pihak yang diatur. Pengaturan ini berbeda dengan pembuatan undang-undang atau legislasi, yaitu pembuatan peraturan perundang-undangan untuk mengatur kelakuan social yang dilakukan secara spesifik oleh suatu badan representatis atau perwakilan. Kata kunci: pencemaran lingkungan hidup, pertambangan, pertanggungjawaban perdata
Universitas Sam Ratulangi
2013-02-20
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/vnd.openxmlformats-officedocument.wordprocessingml.document
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1022
LEX PRIVATUM; Vol. 1 No. 1 (2013): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1022/835
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/1023
2017-09-21T22:35:11Z
lexprivatum:ART
PROSEDUR DAN PENETAPAN ANAK ANGKAT DI INDONESIA
Balaati, Dessy
Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui bagaimanakah prosedur pengangkatan anak yang sah di Indonesia dan bagaimana penetapan dan status hukum anak angkat yang berlaku di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Prosedur pengangkatan anak di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti dalam penjelasan berikut: (a) Staatsblad 1917 Nomor 129 mengatur bahwa adopsi terhadap anak perempuan dan adopsi dengan cara lain selain daripada Akta Notaris adalah batal demi hukum. Berdasarkan yurisprudensi tertanggal 29 Mei 1963 No. 907/1963P atau Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Tahun 1963, yang memungkinkan pengangkatan anak perempuan. (b) Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6 Tahun 1983 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. (c) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya.  (d) Pengaturan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu bahwa Tata cara pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia bahwa seorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2(dua) tahun. 2. Untuk sahnya pengangkatan anak di Indonesia, setelah permohonan pengangkatan anak melalui prosedur dari aturan dalam perundang-undangan yang ada, pengangkatan anak selanjutnya disahkan melalui langkah terakhir yaitu dengan adanya putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh pengadilan dengan bentuk penetapan pengadilan atau dikenal dengan putusan deklarator, yaitu pernyataan dari Majelis hakim bahwa anak angkat tersebut adalah sah sebagai anak angkat dari orang tua angkat yang mengajukan permohonan pengangkatan anak. Putusan pengadilan juga mencakup mengenai status hukum dari anak angkat dalam keluarga yang telah mengangkatnya, mengenai hak mewaris dari anak angkat diatur secara beragam baik dari hukum adat maupun peraturan perundang-undangan, hak waris anak menurut hukum adat mengikuti aturan adat dari masing-masing daerah. Kata kunci: anak angkat
Universitas Sam Ratulangi
2013-02-20
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1023
LEX PRIVATUM; Vol. 1 No. 1 (2013): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1023/836
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/1024
2017-09-21T22:35:11Z
lexprivatum:ART
PENERAPAN SISTEM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DI INDONESIA
Tampongangoy, Falentino
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk dan isi perjanjian kerja waktu tertentu dalam penerepannya dan bagaimana pelaksanaan perlindungan bagi pekerja/buruh dalam perjanjian kerja waktu tertentu menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan peneleitian kepustakaan disimpulkan bahwa: 1. Proses penerapan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, masih belum sesuai dengan aturan aturan yang berlaku, dimana dalam penerapannya, bentuk perjanjian PKWT yang menurut atuan harusnya dibuat secara tertulis, hanya dibuat secara lisan. Hal ini dikarenakan kurangnya SDM di bidang ketenagakerjaan dan keinginan pengusaha itu sendiri untuk membuat perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tersebut secara lisan dengan tujuan untuk mengefisiensi pengeluaran. Pada kenyataannya perumusan atau pembuatan PKWT di indonesia hanya dilakukan secara sepihak, tanpa ada campur tangan dari pihak pekerja, sehingga isi dari perjanjian kerja yang ada kebanyakan mengandung pasal pasal yang lebih menguntungkan salah satu pihak yang dalam hal ini adalah pengusaha itu sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dimana dalam membuat suatu perjanjian harus ada musyawarah atau perundingan dari kedua belah pihak unuk menentukan isi dari perjanjian yang akan dibuat. 2. Perlindungan terhadap pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada dasarnya dalam pelaksanaannya belum berjalan secara optimal, mengingat masih sering terjadi pelanggaran, dikarenakan oleh ketidak jelasan aturan tentang penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, khususnya berkenaan dengan pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang bersifat musiman atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan. Selain itu kurangnya pengawasan dari pemerintah dalam proses pembuatan Perjanjian Kerja Waktu tertentu, sehingga membuat pihak pengusaha dengan mudah melanggar peraturan peraturan yang ada tanpa menerima sanksi hukum. Kata kunci: perjabnjian kerja
Universitas Sam Ratulangi
2013-02-20
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1024
LEX PRIVATUM; Vol. 1 No. 1 (2013): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/1024/837
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/17032
2017-08-09T20:32:54Z
lexprivatum:ART
KAJIAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNAAN HAK IMUNITAS SEORANG DIPLOMAT MENURUT KONVENSI WINA 1961
Karauwan, Gabriela M.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dampak penyalahgunaan Hak Imunitas menurut Konvensi Wina Tahun 1961 dan bagaimana tanggung jawab negara pengirim terhadap penyalahgunaan Hak Imunitas diplomatic. Dengan menggunakan metode penelitioan yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pelanggaran terhadap Hak Imunitas Diplomatik merupakan pelanggaran terhadap Hukum Internasional. Dalam hal ini Negara penerima wajib bertanggung jawab apabila terjadi pelanggaran terhadap Hak Istimewa dan Kekebalan dari perwakilan diplomatik asing, baik itu diplomat, keluarga, maupun gedung perwakilan diplomatik. Pertanggungjawaban negara dilakukan sebagai bentuk pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan oleh suatu negara atau suatu konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban atau untuk memenuhi suatu standar internasional tertentu yang telah ditetapkan. 2. Ketika hak imunitas tersebut disalah gunakan oleh para pejabat diplomat maka pejabat diplomat bebas dari yurisdiksi Negara penerima, tetapi pejabat diplomat tidak sepenuhnya bebas dari yurisdiksi Negara pengirim karena perbuatan-perbuatan yang diluar tugas resminya dapat diadili sesuai dengan yurisdiksi Negara pengirim dan dapat dibawa ke hadapan pengadilan.Kata kunci: Penyalahgunaan,  Hak Imunitas, Diplomat.
Universitas Sam Ratulangi
2017-08-10
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17032
LEX PRIVATUM; Vol. 5 No. 5 (2017): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17032/16569
Copyright (c) 2017 LEX PRIVATUM
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/17033
2017-08-09T20:32:54Z
lexprivatum:ART
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH PENYIMPAN DANA DALAM LIKUIDASI BANK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998
Armanda M, Malamo
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana dalam likuidasi bank menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan bagaimana proses likuidasi bank di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana dalam likuidasi perbankan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu dengan melakukan penyempurnaan program penjaminan simpanan nasabah dengan membentuk suatu lembaga independen yaitu Lembaga Pengawas yang diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan program penjaminan nasabah bank. Sehingga jika suatu bank mengalami kegagalan maka lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut. 2. Proses likuidasi bank di Indonesia adalah sebagai berikut: pertama pengamanan aset bank sebagai tindak lanjut pencabutan izin usaha; kedua penyusunan neraca penutupan; ketiga pengauditan neraca penutupan; keempat inventarisasi aset dan kewajiban bank; kelima penyusunan rencana kerja dan anggaran biaya; keenam penyusunan neraca sementara likuidasi; ketujuh penyampaian kewajiban kepada pegawain bank dalam likuidasi, kedelapan pencairan aset dan/atau penagihan piutang; kesembilan pengawasan pelaksanaan likuidasi bank; kesepuluh penyampaian laporan pelaksanaan likuidasi bank; kesebelas pengakhiran likuidasi serta pembayaran kewajiban bank; kedua belas penyerahan sisa hasil likuidasi kepala pemegang saham lama; dan ketiga belas atau terakhir, pembayaran yang belum di ambil oleh kreditor.Kata kunci: Perlindungan hokum, Nasabah penyimpanan dana, Likuidasi Bank.
Universitas Sam Ratulangi
2017-08-10
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17033
LEX PRIVATUM; Vol. 5 No. 5 (2017): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17033/16570
Copyright (c) 2017 LEX PRIVATUM
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/17034
2017-08-09T20:32:54Z
lexprivatum:ART
KEDUDUKAN ANAK DILUAR KAWIN MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU.VII/2010 TERHADAP HUBUNGAN ANAK DI LUAR KAWIN DENGAN AYAH BIOLOGISNYA
Tololiu, Rostanti
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 dan bagaimana kedudukan anak luar kawin menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluargaya. maka tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak luar kawin tidak hanya dibebenakan kepada ibu dan keluarga ibunya saja, akan tetapi juga dibebankan juga kepada ayah dan keluarga ayahnya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, ayah mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak anak berkaitan dengan sandang, pangan dan papan bahkan pendidikan. Demikian ada hak anak untuk menuntut ayah atau keluarga ayah apabila tidak memenuhi kewajiab tersebut. sebaliknya dengan adanya hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya, maka akan menimbulkan kewajiban untuk saling memelihara. 2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 menyangkut anak luar kawin adalah sebagai suatu terobosan hukum demi terwujudnya kedudukan hukum anak luar kawin yang peraturannya dalam Undang-Undang Perkawinan belum tuntas. Berdasrkan Psal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, maka anak yang bersangkutan tergolongs sebagai anak luar kawin, dan hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya. Pengaturan tentang kedudukan hukum anak luar kawin dalam Undang-Undang Perkawinan belum tuntas, pada hal dalam kehidupan masyarakat, kawin siri ini, yang dari perkawinan tersebut lahir anak, menjadi tidak jelas.Kata kunci: Kedudukan anak, di luar kawin, Putusan Mahkamah Konstitusi
Universitas Sam Ratulangi
2017-08-10
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17034
LEX PRIVATUM; Vol. 5 No. 5 (2017): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17034/16571
Copyright (c) 2017 LEX PRIVATUM
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/17035
2017-08-09T20:32:54Z
lexprivatum:ART
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN SURETY BOND DALAM PERUSAHAAN ASURANSI MENURUT UNDANG-UNDANG ASURANSI
Kansil, Feiby Irene
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana aturan hukum yang mengatur tentang surety bond menurut UU asuransi dan apa penerapan surety bond dalam perusahaan asuransi/lembaga asuransi sudah singkron dengan asas surety bond. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Aturan hukum tentang Surety Bond di lihat dari Undang-Undang Asuransi dari yang lama maupun yang terbaru Undang-Undang Perasuransian tahun 2014, belum terlihat dengan jelas yang khusus mengatur Surety Bond itu sendiri. 2. Penerapan Surety Bond bagi lembaga Asuransi memiliki permasalahan yang tidak singkron dengan asas Surety Bond, dimana para pihak di dalam asuransi ada dua yaitu penanggung dan tertanggung , sedangkan dalam Surety Bond ada 3 pihak yaitu penanggung, tertanggung dan pihak ketiga. Akan tetapi, lembaga asuransi harus selalu optimis mengingat potensi pasar produk Surety Bond adalah sangat luas mengingat secara konsep penjaminan, produk Surety Bond akan selalu dibutuhkan oleh para principal.Kata kunci: Penerapan Surety Bond, Perusahaan Asuransi.
Universitas Sam Ratulangi
2017-08-10
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
inode/x-empty
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17035
LEX PRIVATUM; Vol. 5 No. 5 (2017): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17035/16572
Copyright (c) 2017 LEX PRIVATUM
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/17036
2017-08-09T20:32:54Z
lexprivatum:ART
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG INVESTASI DALAM PERSPEKTIF UU NO. 23 TAHUN 2014 Jo UU NO. 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Malendes, Dolvein
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan investasi di bidang pembangunan di daerah dan bagaimana kewenangan pemerintah daerah di bidang investasi menurut UU No. 23 Tahun 2014 Juncto UU No. 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah. Denagn menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal terlihat beberapa model penerapan di daerah. Pengaturan investasi di daerah ditetapkan oleh pemerintah daerah sendiri dengan berdasarkan pada kebutuhan daerah. Sistem pengaturan penanaman modal sampai dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal masih bersifat sentralistis di mana pengelolaan penanaman modal masih berada di tangan pemerintah pusat terlebih khusus yang diatur dalam Pasal 27. Hal ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 dimana penanaman modal merupakan kewenangan daerah sesuai pembagian urusan pemerintahan. 2. Wewenang dari pemerintah daerah di bidang investasi atau penanaman modal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan adalah mengeluarkan kebijakan penanaman modal, melakukan kerjasama penanaman modal, promosi penanaman modal, pelayanan penanaman modal, pengendalian pelaksanaan penanaman modal, pengelolaan data & sistem informasi penanaman modal serta penyebarluasan pendidikan dan pelatihan penanaman modal. Dan Kemudian penulis menyimpulkan bahwa Kewenangan pemerintah provinsi sebagai daerah otonom dalam bidang penanaman modal adalah pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupeten/kota, melakukan kerja sama dengan kabupaten/kota, membuat kebijakan dan mengeluarkan keputusan dan ketetapan. Selain itu, pemerintah daerah berkewajiban menjamin kepastian dan keamanan dalam berusaha yang sesuai dengan peraturan daerah masing-masing.Kata kunci: Kewenangan Pemerintah Daerah, Investasi
Universitas Sam Ratulangi
2017-08-10
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17036
LEX PRIVATUM; Vol. 5 No. 5 (2017): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17036/16573
Copyright (c) 2017 LEX PRIVATUM
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/17037
2017-08-09T20:32:54Z
lexprivatum:ART
PROSES PERIZINAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990
Carlos, Branley
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja alasan hukum perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil dan bagaimana proses perizinan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Alasan hukum perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil adalah: pertama, salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; kedua, Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; ketiga, salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; keempat, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; kelima, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri; dan keenam antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 2. Proses perizinan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yaitu permohonan izin untuk bercerai harus diajukan secara tertulis oleh Pegawai Negeri Sipil kepada Pejabat dan harus dicantumkan secara jelas alasan-alasan hukum bagi Pegawai Negeri Sipil untuk bercerai. Permintaan izin diajukan kepada pejabat melalui saluran hierarki atau dilaksanakan sesuai dengan proses internal di lingkungan lembaga atau instansi dan memperhatikan pula jenjang jabatan yang ada dalam struktur lembaga atau instansi yang bersangkutan. Setiap atasan yang menerima permintaan izin harus memberikan pertimbangan. Jika informasi dan penjelasan sudah diperoleh, maka atasan tentu saja memerlukan waktu untuk menguji atau menganalisis pertimbangan apa yang seharusnya diberikan, atau kemudian dapat diteruskan kepada pejabat bersangkutan. Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian dilakukan oleh pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga hari terhitung secara imperatif.Kata kunci: Proses perizinan, perceraian, pegawai negeri sipil
Universitas Sam Ratulangi
2017-08-10
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17037
LEX PRIVATUM; Vol. 5 No. 5 (2017): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17037/16574
Copyright (c) 2017 LEX PRIVATUM
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/17038
2017-08-09T20:32:54Z
lexprivatum:ART
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA YANG BEKERJA DI MALAM HARI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Maku, Ayu Wahyuni
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan dan perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha dan bagaimana perlindungan hukum terhadap tenaga kerja yang bekerja pada malam hari ditinjau dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Hubungan kerja merupakan suatu hubungan antara seorang pekerja/buruh dan seorang majikan atau pengusaha, dimana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu perjanjian, di satu pihak pekerja/buruh bersedia bekerja dengan menerima upah dan pengusaha mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah. Unsur hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek (pengusaha) dan pekerja/buruh, perjanjian kerja, adanya pekerjaan, upah dan perintah. Dengan demikian, landasan hubungan kerja karena adanya perjanjian kerja, baik tertulis maupun tidak tertulis (lisan). Prinsip yang menonjol pada perjanjian kerja, yaitu adanya keterikatan seseorang (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja di bawah perintah dengan menerima upah. Jadi, apabila seseorang telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja, berarti ia secara pribadi otomatis harus bersedia bekerja di bawah perintah orang lain. 2. Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasai Nomor 224 tahun 2003 lebih menekankan perlindungan hukum terhadap perempuan yang bekerja di malam hari dengan menjamin dan memberikan segala hak-hak yang perlu diperoleh pekerja perempuan tersebut. Dari ketentuan Pasal dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum bagi pekerja/buruh baik secara umum maupun secara khusus bagi pekerja/buruh yang bekerja pada malam hari harus mengikuti ketentuan tersebut, mengingat dalam hal ini untuk perlindungan hukum terhadap tenaga kerja laki-laki yang bekerja di malam hari tidak diatur.Kata kunci: Perlindungan hukum, tenaga kerja, bekerja di malam hari.
Universitas Sam Ratulangi
2017-08-10
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17038
LEX PRIVATUM; Vol. 5 No. 5 (2017): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17038/16575
Copyright (c) 2017 LEX PRIVATUM
oai:ojs.ejournal.unsrat.ac.id:article/17039
2017-08-09T20:32:54Z
lexprivatum:ART
PENERAPAN LEMBAGA PAKSA BADAN TERHADAP DEBITUR BERITIKAD TIDAK JUJUR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004
Laminullah, Prayogha R.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum kepailitan perihal debitur beritikad tidak jujur dan bagaimana penerapan lembaga paksa badan terhadap debitur tidak jujur. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Status hukum debitur yang dinyatakan pailit berada pada titik nadir, dinyatakan tidak mampu melakukan perbuatan hukum (onbekwaam) serupa dengan konsep curatele dalam Hukum Perdata, yang dalam Hukum Kepailitan, Konsep Curatele menjadi kurator yang berfungsi mengurus dan membereskan kewajiban dan harta kekayaan debitur pailit. 2. Penerapan paksa badan bersifat sementara yang terjadi sebelum pernyataan kepailitan diucapkan terhadap debitur beritikad tidak jujur, serta dalam masa berlakunya penundaan kewajiban pembayaran utang. Paksa badan adalah tekanan atau paksaan yang lebih berkonotasi fisik yang dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2000 berakibat dipenjaranya debitur, sedangkan pada Hukum Kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak sampai dengan dipenjaranya debitur.Kata kunci: Penerapan Lembaga Paksa Badan, Debetur, Beritikad tidak jujur
Universitas Sam Ratulangi
2017-08-10
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
application/pdf
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17039
LEX PRIVATUM; Vol. 5 No. 5 (2017): Lex Privatum
2337-4942
eng
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/17039/16576
Copyright (c) 2017 LEX PRIVATUM
5756a19a24bb77276e55c4ec937da748