KAJIAN HUKUM ATAS OPINI BPK RI TERHADAP LAPORAN PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat)

Authors

  • Arnold Nicodemus Musa

DOI:

https://doi.org/10.35796/les.v3i2.7317

Abstract

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), sebagai badan pemeriksa keuangan eksternal terhadap pengelolaan keuangan Pemerintah/Pemerintah Daerah atau badan lain,  diberi kewenagan untuk mengaudit  atas Laporan Keuangan Pemerintah/Pemerintah Daerah, yang  kemudian memuat opini antara lain Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW) dan Tidak Menyatakan Pendapat/TMP (disclaimer of opinion).   Pemeriksaan atas laporan keuangan oleh BPK dilakukan dalam rangka memberikan pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Kriteria   pemberian opini menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004  pada Penjelasan Pasal 16 ayat (1), yaitu : Kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP), Kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan Efektivitas sistem pengendalian intern (SPI). Oleh karena BPK sebagai auditor eksternal, maka BPK sangat rawan untuk diserang atau terjadi perilaku menyimpang antara pejabat BPK dengan Pejabat pemerintah maupun pemerintah Daerah, dimana sangat berpeluang untuk terjadinya kolusi dalam rangka membantu menghilangkan jejak melawan hukum terhadap  kerugian keuangan Negara/atau daerah dengan menyalagunakan kekuasaanya (abuse of power).  Peluang terjadinya peyalagunaan kekuasaan dengan bentuk kolusi karena BPK adalah satu-satunya pemeriksa keuangan ekternal di Republik ini,  yang mempunyai kewenangan besar memberikan opini terhadap Laporan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara atau Daerah. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui apakah BPK telah melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap laporan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Daerah secara berimbang dan objektif dan untuk mengetahui indikator  atau  standar  apa yang digunakan oleh BPK dalam  memberikan opini  disclaimer /TMP, TW, WDP dan WTP terhadap laporan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Pemerintah Daerah. Metodologi penelitian yang digunakan yaitu juridis formal  (hukum normatif)  yang bertujuan untuk melakukan penelitian dan penalaran logis secara analisis kualitatif  dengan membuat deskripsi berdasarkan data-data yang ada,  dengan cara mengkaji opini BPK terhadap Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah pada Pemerintah Daerah Kabupaten Halamara Barat. Adapun meteri pendekatan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu  Ketentuan yang mengatur BPK RI dalam Undang-Undang Dasar Negara  1945  Bab VIII A  pada 23E, 23F dan 23G, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keungan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006, tentang Badan Pemeriksaan keuangan. Dan bahan hukum sekunder yaitu buku-buku ilmu hukum, Jurnal ilmu hukum, internet, laporan hasil Pemeriksaan BPK, artikel ilmiah hukum dan bahan seminar, lokakarya, dan sebagainya.  Jenis penelitian normatif dipergunakan kerena akan ditujukan pada pemecahan masalah pada aspek penegakan hukum dan pendindakan dalam kasus-kasus  penyelagunaan kekuasaan (abuse of power) karena ketidak patuhan terhadap ketentuan perundang-undangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. Sebagaimana pengertian tersebut diatas,  maka penulis menarik kesimpulan bahwa BPK adalah satu-satunya lembaga auditor ekternal negara yang kewenagannya sangat besar untuk memberikan pendapat/oponi atas Laporan Pertanggungjawaban dan Pengelolaan Keuangan baik pemerintah maupun pemerintah daerah, dengan mengunakan empat (4) indikator  audit yaitu Kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP), Kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan Efektivitas sistem pengendalian intern (SPI). Konsekuensi juridis dari opini BPK tersebut adalah pemidanaan dan hukuman administrasi yaitu ganti rugi pengembalian uang negara/daerah. Dari kewengan BPK ini maka penulis menyarankan bahwa BPK tidak menjadi satu-satunya lembaga auditor  eksternal dan pekerjaannya menjadi final, seharusnya ada lembaga auditor banding yang disediakan oleh Negara, sebab hal ini,  jika BPK telah berkesimpulan bahwa adanya perbuatan melawan hukum dan telah menimbulkan kerugian Negara, maka hasil audit BKP tersebut dijadikan bukti autentik dalam setiap perkara tindak pidana korupsi di baik  kepolisian, kejaksaan, KPK maupun Pengadilan. Hal ini bisa terjadi jika BPK tidak melakukan audit secara profesional dan tidak objektif, maka menjadi ancaman kepada setiap orang pasti masuk penjara. Oleh karenanya perlu adanya auditor Banding  atau paling tida adanya auditor ad hoc yang melakukan audit secara bersama-sama dengan auditor BPK atau perlu adanya sebuah komisi Pengawasan auditor BPK untuk memeriksa kebenaran audit yang dialakukan oleh BPK sehingga tidak secara sepihak BPK menentukan pendapatnya (opini) pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan keuangan Pemerintah/Pemerintah Daerah. Walaupun kriteria penentuan opini secara normatif telah diatur, namun belum ada jaminan bahwa opini BPK tersebut telah bersih dari kolusi. BPK belum sepenuhnya menjalankan fungsinya yang diberikan oleh Undang-Undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang nomor 15 tahun 2006, tentang Badan Pemeriksaan Keuangan, dimana seharusnya BPK berani pelaporkan dugaan korupsi  dalam tempo waktu satu bulan, tetapi BPK belum sepenuhnya menjalankan pasal dimasud. Kewenangan melapor sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang nomor 15 tahun 2006, tentang Badan Pemeriksaan Keuangan masih berada pada BPK RI, sementara BPK Perwakilan tidak diberikan kewenangan tersebut, oleh karenanya harus ada aturan yang tegas, sehingga kewenangan untuk melapor dugaan perbuatan melawan hukum yang telah merugikan keuangan negara/daerah dapat diberikan kepada BPK Perwakilan. Hal ini untuk membantu lebih cepat kontrol dan pengawasan  BPK  Perwakilan pada pelaksanaan percepatan pembangunan otonomi daerah. Jika kewenangan pelaporan atas tindak pidana korupsi tidak diberikan kepada BPK Perwakilan, maka dapat dipandang BPK Perwakilan hanyalah  sebuah  stempel yang berkerja sebagai auditor belaka.

Kata kunci : Kajian Juridis, Opini BPK,  Konsekuensi hukum.

Downloads

Published

2015-03-19