PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN IMPLIKASI YURIDISNYATERHADAP PRAKTIK PERADILAN

Authors

  • Erwin Ogi

DOI:

https://doi.org/10.35796/les.v3i4.8058

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana implikasi penerapan pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi terhadap hukum materil dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 dan bagaimana implikasi penerapan pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi terhadap Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001) serta bagaimana implikasi penerapan pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi terhadap pengembalian aset tindak pidana korupsi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat diberikan kesimpulan sebagaiberikut: 1. Penerapan asas pembalikan beban pembuktian memberikan implikasi terhadap dimensi hukum materil dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, bahwa pembalikan beban pembuktian hanya dapat diterapkan terhadap kesalahan orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dan harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan, tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Namun pembuktian penanganan kasus korupsi secara mendasar tidak boleh bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), instrumen hukum nasional dan internasional, dan lain. sebagainya. 2. Pembalikan beban pembuktian juga memberikan implikasi terhadap ketentuan hukum acara pidana dalam hal ini KUHAP maupun UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Di satu sisi, pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi berimplikasi karena ada norma-norma tertentu yang dikenal dalam KAK 2003 sesuai sistem "common law", tetapi di sisi lainnya ternyata kebijakan legislasi tindak pidana korupsi Indonesia yang dipengaruhi sistem "civil law" relatif tidak mengenalnya. Implikasi ini jelas terlihat pada politik hukum dari kebijakan legislasi untuk menanggulangi pemberantasan korupsi.

3. Pembuktian terbalik untuk merampas harta kekayaan yang diduga berasal dari korupsi melalui CivilRecovery tidak merupakan pelanggaran HAM tersangka, karena yang harus dibuktikan adalah asal usul harta kekayaannya bahwa seorang pemilik harta kekayaan tersebut ditempat­kan dalam posisi sebelum menjadi kaya. Meskipun demikian, proses pembuktian terbalik itu tidak serta merta menempatkan pemilik harta kekayaan jika tidak dapat membuktikan harta kekayaannya menjadi terdakwa untuk kasus tindak pidana korupsi. Ketidak mampuan orang yang bersangkutan untuk membuktikan keabsahan harta kekayaannya tidak dapat dijadikan bukti untuk menuntut orang itu dalam perkara tindak pidana korupsi.

Kata kunci: Pembalikan, beban pembuktian, korupsi

Author Biography

Erwin Ogi

e journal fakultas hukum  unsrat

Downloads

Published

2015-05-07