AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP KEDUDUKAN, HAK DAN KEWAJIBAN BEKAS SUAMI ISTRI MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA

Authors

  • Mark Cavin Sabudu

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah arti perkawinan menurut hukum agama dan aturan hukum alasan untuk perceraian dan bagaimanakah akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban bekas suami/istri  menurut  hukum positif yang berlaku di Indonesia, di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan anjuran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu ‘perikatan jasmani dan rohani’ yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua mempelai beserta keluarga kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan ia man dan taqwa, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan. 2. Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban bekas suami/istri menurut Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan normatif dalam Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini mempunyai kaitan dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan normatif bahwa seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu, yang kemudian pasal ini telah dijabarkan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memuat ketentuan imperatif bahwa bagi seorang janda yang perkawinannya putus karena perceraian, maka waktu tunggu bagi janda yang masih datang bulan ditetapkan 3 (tiga kali) suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari. Apabila perkawinan putus, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.

Kata kunci: bekas suami isteri;

Author Biography

Mark Cavin Sabudu

e journal fakultas hukum unsrat

Downloads

Published

2019-10-21