KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TENTANG MENURUNNYA KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP HUKUM DAN APARAT PENEGAK HUKUM DI SULAWESI UTARA
Abstract
Rechtstaat (di negara Eropa Kontinental) dan rule of law (di negara Anglo Saxon) merupakan penamaan yang diberikan oleh para pakar hukum pada permulaan abad ke-20 terhadap gagasan konstitualisme dalam sebuah negara yang menganut suatu cita negara hukum[1]. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut cita negara hukum sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), sehingga seluruh kegiatan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan atau di dalam melaksanakan pembangunan harus berdasarkan pada ketentuan hukum namun yang menjadi fenomena adalah masyarakat main hakim sendiri (eigenrichting) atau self help dalam menyelesaikan masalah karena ketidakpercayaan lembaga peradilan.[2]
Penegakan hukum di suatu negara menurut Satjipto Rahardjo idealnya dilihat sebagai suatu proses yang interaktif, apa yang dipertontonkan kepada masyarakat sebagai hasil penegakan hukum itu tidak dapat diterima sebagai hasil karya penegak hukum sendiri, melainkan suatu hasil bekerjanya proses saling mempengaruhi di antara berbagai komponen yang terlibat di dalam proses itu[3] .
Selanjutnya dikemukakan pula oleh Satjipto Rahardjo bahwa proses interaktif tiap-tiap komponen yang terlihat di dalam proses penegakan hukum, dapat berlangsung dengan baik, jika kesiapan dan tiap-tiap komponen tersebut cukup memadai, jika tidak demikian maka peranan hukum baik di dalam mempertahankan kestabilan maupun di dalam menunjang atau mengarahkan pembangunan tidak akan efektif. Oleh karena itu, jika menuntut peranan penegak hukum di dalam pembangunan, maka juga harus menuntut perhatian terhadap pembinaan atau pembangunan di dalam bidang hukum secara terpadu dan konsisten termasuk putusan hakim yang progresif dan berdasarkan hati nurani.[4]
Di negara Republik Indonesia dikenal institusi penegak hukum adalah kepolisian, kejaksaan, kehakiman, keadvokatan dan lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga hukum. Kelima unsur penegak hukum ini memegang peranan dan fungsi yang vital dalam penyelenggaraan negara hukum khususnya di bidang peradilan. Masyarakat Indonesia mendambakan terciptanya suatu negara hukum yang baik, di mana salah satu indikatornya adalah penyelenggaraan peradilan yang benar dan berkeadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Fungsi penegak hukum bersinergi dan setaraf di dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan undang-undang sehingga dalam melaksanakan visi dan misinya tidak saling bersinggungan tetapi sebaliknya dapat bersinergi optimal dan kerjasama yang apik di antara penegak hukum tersebut.
Hal yang perlu dibina dan dikembangkan adalah selain menghormati dan menjunjung tinggi eksistensi setiap unsur penegak hukum juga berupaya membina dan mengembangkan rasa kesadaran hukum masyarakat, budaya hukum yang positif harus diciptakan koordinasi dan pengawasan terhadap penegak hukum harus efektif dalam menciptakan kondisi yang realistis dalam penegakan hukum di Indonesia. rakyat membutuhkan perlindungan hukum baik dari perbuatan pemerintah maupun perbuatan antara mereka sebagai warga negara. Oleh karena itu kesadaran hukum masyarakat dan penegak hukum merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan cita-cita negara hukum dalam praktek[5] .
Guna mewujudkan kinerja penegak hukum yang dapat menjawab tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat dalam era reformasi di segala bidang maka tuntutan terbesar yang utama dan terutama yang dihadapi adalah sumber daya manusia dan profesionalisme yang mampu menampung dan merealisasikan tuntutan aspirasi masyarakat sehingga penegak hukum dapat berwibawa dan dicintai masyarakat, semakin melekat dan kental dengan nilai-nilai pemenuhan harapan masyarakat. Keterkaitan antara penegak hukum dengan masyarakat itu sangat erat oleh karena itu sering didengar adanya pemeo yang menyatakan bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum (ubi ius ubi societas).
Penurunan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan penegakan hukum merupakan salah satu fenomena yang sangat banyak terjadi dan penurunan kepercayaan tersebut justru banyak terjadi ketika saat ini telah banyak peraturan perundang-undangan yang dibentuk untuk ditegakkan. Keterlibatan aparat penegak hukum dalam kejahatan-kejahatan yang terjadi menjadi realitas yang sangat memprihatinkan seperti yag terjadi di Kota Manado sebagaimana dimuat dalam Republika tanggal 1 April 2015 mengenai keterlibatan aparat Kepolisian dalam pencurian kendaraan bermotor, kasus pencurian ATM yang kemudian melibatkan pihak penyidik dalam penggelapan barang bukti berupa uang sejumlah milyaran dari tangan pihak tersngka serta terjadinya proses-proses penegakan hukum yang dianggap menciderai rasa keadilan masyarakat seperti yang dimuat dalam Beritakawanua edisi tanggal 8 Juli 2014 yang menyebutkan penjatuhan vonis lepas dari segala tuntutan atas kasus penggelapan dan pemalsuan yang dilakukan Melia Handoko, penjatuhan vonis yang dianggap ringan terhadap pelaku tindak pidana mall praktek kedokteran yang menyebabkan meninggalnya pasien bernama Julia Fransiska Makatey. Realitas-realitas ini menunjukkan bahwa terdapat suatu kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dengan reaalitas di tengah masyarakat yang menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat .[1] Riduan Syahrani. 1991. Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia. Alumni : Bandung. Hlm. 43
[2] Ibid. Hlm. 45
[3] Satjipto Rahardjo dan Anton Tabah. 1993. Polisi, Pelaku dan Pemikir. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. Hlm. 146
[4] Ibid.
[5] Sudargo Gautama. 1983. Pengertian Tentang Negara Hukum.Alumni. Bandung: Hlm. 11
Full Text:
PDFRefbacks
- There are currently no refbacks.