KEADAAN TERPAKSA SEBAGAI BAGIAN DARI DAYA PAKSA PASAL 48 KUHP (KAJIAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG NOMOR 13 PK/PID.SUS/2014)

Desy Rebecca Ratu

Abstract


Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan keadaan terpaksa (noodtoestand) sebagai bagian dari daya paksa (overmacht) menurut Pasal 48 KUHP dan bagaimana penerapan syarat untuk adanya keadaan terpaksa menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 13 PK/Pid.Sus/2014.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan keadaan terpaksa (noodtoestand) sebagai bagian dari daya paksa (overmacht) baru terjadi setelah adanya putusan-putusan pengadilan yang menerima keadaan terpaksa sebagai bagian daya paksa, sekalipun ada perbedaan yang cukup jelas antara daya paksa absolut dan relative di satu pihak dengan keadaan terpaksa di lain pihak, yaitu dalam daya paksa absolut dan relative, paksaan itu berasal dari manusia sedangkan dalam keadaan terpaksa paksaan itu berasal dari bukan manusia, seperti bencana dan serangan hewan. 2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 13 PK/Pid.Sus/2014, tanggal 8/4/2014, telah menolak alasan daya paksa/keadaan terpaksa dari Terdakwa sebagai seorang isteri yang menjalankan perusahaan setelah suaminya lumpuh yang mengemukakan bahwa diterimanya dorongan untuk menjalankan perusahaan merupakan perbuatan terpaksa semata-mata untuk menghindari perusahaan ditutup (pailit) yang akan mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal.  Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa dorongan untuk menjalankan perusahaan guna menghindari perusahaan ditutup yang akan mengakibatkan PHK secara massal, bukan merupakan suatu daya paksa/keadaan terpaksa.

Kata kunci: Keadaan terpaksa, bagian dari daya paksa.

Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.