KEBERADAAN SAKSI MAHKOTA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

Gorby Zefanya Tahitu

Abstract


Penyidikan tindak pidana pada hakikatnya merupakan suatu upaya penegakan hukum. Penyidik dengan serangkaian tindakannya untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan kemudian menemukan tersangkanya.Pentingnya seorang saksi berada pada semua tahap kegiatan penyidikan dan penyelidikan. Keberadaan seorang saksi akan menjadi "kata kunci" dalam pengungkapan sebuah perkara pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif, yaitu dengan cara berusaha memberikan gambaran mengenai permasalahan yang aktual saat ini berdasarkan fakta-fakta yang tampak. Hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana keberadaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana serta bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap saksi mahkota. Pertama, saksi mahkota hanya ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan. Pengaturan mengenai ’saksi mahkota’ ini pada awalnya diatur di dalam pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan pemahaman (rekoqnisi) tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung. Kedua, Saksi mahkota adalah saksi yang juga sebagai pelaku kriminal yang membongkar kejahatan. Perlindungan terhadap saksi mahkotayang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 10 Ayat (1).  Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan meka­nisme pemisahan (splitsing). serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Bahwa perlindungan terhadap saksi mahkotayang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan bahwa “Seorang saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan”. Bahwa kedudukan saksi mahkota sangat dipengaruhi oleh keberadaan SEMA No. 4 Tahun 2011. Namun demikian, SEMA No. 4 Tahun 2011 memiliki batasan pada kejahatan terorganisir

Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.