EKSISTENSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN NOMOR: 124/PID.SUS/TPK/2015/PN/JKT.PST)
Abstract
Tujuandilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah Pengaturan Justice Collaborator dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi dan bagaimana eksistensi Justice Collaborator dalam Pengungkapan Kasus Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan Putusan Nomor : 124/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST, di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah awal diaturnya Justice Collaborator yaitu dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang ini. Untuk memperkuat ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Mahkamah Agung RI mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. SEMA ini memberika pedoman serta persyaratan yang lebih jelas tentang Justice Collaborator. Komitmen ini kemudian dilanjutkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, KAPOLRI, KPK, dan Ketua LPSK dengan melahirkan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor: PER-045/A/JA/12/2011, Nomor: 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor: 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Karena masih banyaknya kelemahan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, kemudian di ubah dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 2. Dalam Putusan Nomor 124/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST dengan terdakwa Tripeni Irianto Putro, sudah jelas bahwa yang bersangkutan dapat di katakana sebagai Justice Collaborator karena memenuhi syarat seperti yang telah di atur dalam butir 9 SEMA No.4 Tahun 2011. Terdakwa Tripeni Irianto Putro di tetapkan sebagai Justice Collaborator berdasarkan keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi No.892/01-55/09/2015 tanggal 23 September 2015. Eksistensi Terdakwa sebagi Justice Collaborator secara koopratif membantu Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum untuk membongkar kasus suap Hakim dan Panitera PTUN Medan dalam gugatan atas pengajuan wewenang Kejaksaan Tinggi dalam melakukan pemanggilan saksi dan penyelidikan kasus Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Oprasional Sekolah (BOS), dan juga terkait penahanan pencairan Dana Bagi Hasil (BDH) dan penyertaan modal pada sejumlah BUMD Pemprov Sumatera Utara.
Kata kunci: justice collaborator, korupsiFull Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.35796/les.v5i9.18320
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Journal Lex Et Societatis is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.