PERLINDUNGAN ATAS HAK NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. STUDY PENGADILAN AGAMA MANADO

Nurjana Antareng

Abstract


Hak nafkah untuk anak pasca perceraian di atur dalam Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, menentukan bahwa akibat putusnya perkawinan suami tetap memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Ketentuan ini juga dipertegas oleh Pasal 105 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam bahwa biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Kemudian diperjelas lagi di dalam Pasal 156 huruf (d)  yang menegaskan bahwa “Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurangkurangnnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Menurut Islam Kewajiban suami untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tangga yang menyangkut pangan, membiayai pendidikan anak, kesehatan dan sebagainya. Kewajiban ayah (suami) memberikan nafkah ini diatur didalam Al-Qur’an di antaranya: At-Thalaq:7. Kewajiban suami memberi nafkah ini dilegalkan di dalam hukum positif Indonesia, yakni melalui Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 yang kemudian dikuatkan oleh Kompilasi Hukum Islam. Terlebih-lebih dengan keluarnya Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak. Di dalamnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur tentang kewajiban ayah memberikan nafkah kepada anaknya, bahkan setelah terjadi perceraian.[1]

Kata Kunci : Hak Nafkah Anak Setelah Perceraian

[1]Intruksi Presiden R.I. Nomor 1 tahun 1991;  Tentang Perkawinan  No 1 tahun 1974

 


Full Text:

PDF


DOI: https://doi.org/10.35796/les.v6i4.19827

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Creative Commons License
Journal Lex Et Societatis is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.