https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jmr/issue/feed JURNAL MEDIK DAN REHABILITASI 2024-06-30T23:08:46+08:00 Dr. dr. Joudy Gessal, SpKFR-K jhessal@yahoo.com Open Journal Systems <strong>JURNAL MEDIK DAN REHABILITASIÂ DITERBITKAN OLEH:</strong><br /><strong>Program Studi Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Fakultas Kedokteran UNSRAT</strong><br />Bekerjasama dengan<br /><strong>Fakultas Kedokteran UNSRAT</strong> https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jmr/article/view/56301 REHABILITASI MEDIK PADA FRAKTUR WEBER 2024-06-30T22:30:59+08:00 Ixora Fabiola ixora.fabiola@gmail.com Joudy Gessal joudy.gessal@gmail.com Christina Adelle Damopolii christinaadelle17@gmail.com <p>Fraktur malleolus lateral merupakan salah satu cedera yang paling umum ditemui oleh ahli bedah ortopedi. Fraktur malleolus lateral, merupakan jenis fraktur yang paling umum terlihat di sekitar sendi pergelangan kaki, mengkontribusi 70% dari semua fraktur pergelangan kaki. Sementara penanganan fraktur pergelangan kaki sebagian besar didasarkan pada temuan radiografi, strategi yang efektif untuk menangani fraktur pergelangan kaki akan memerlukan sistem klasifikasi yang tidak hanya deskriptif, tetapi dapat membantu dalam memprediksi hasil setelah modalitas pengobatan. Terdapat beberapa sistem klasifikasi untuk menjelaskan mengenai trauma ini, termasuk klasifikasi yang paling sering digunakan adalah klasifikasi Lauge Hansen dan Danis-Weber. Rehabilitasi pada fraktur pergelangan kaki dapat dimulai sesegera mungkin, baik pada pasien yang diberikan manajemen konservatif dengan immobilisasi tanpa operasi, maupun dengan immobilisasi dengan fiksasi interna (Open Reduction Internal Fixation/ORIF). Tujuan akhir dari program rehabilitasi pada fraktur pergelangan kaki adalah memelihara stabilitas, alignment sendi pergelangan kaki, mempertahankan kemampuan fungsional, kekuatan, mengoptimalkan masa penyembuhan serta mempersiapkan atlit untuk dapat kembali berolahraga.</p> 2024-06-30T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jmr/article/view/56302 POST-POWER SYNDROME PADA GERIATRI 2024-06-30T22:36:06+08:00 Patrick Muljono muljonopatrick@gmail.com Elfrida Iriani Marpaung elfridamarpaung02724@gmail.com Jenny Joan Pandaleke pandacarol94@gmail.com <p>Post power syndrome merupakan sekumpulan gejala yang terjadi sewaktu individu memasuki masa pensiun. Kecemasan sering muncul pada saat individu akan menghadapi masa pensiun, disebabkan dalam menghadapi pensiun, dalam diri individu terjadi goncangan perasaan yang begitu hebat karena individu harus meninggalkan pekerjaannya, teman-temannya dan segala aktivitas lain yang mereka peroleh selama masih bekerja. Proses pensiun terdiri dari 5 tahap, yaitu 1) pandangan/perspektif mengenai pensiun 2) perencanaan pensiun 3) transisi keluar dari rutinitas kerja 4) penyesuaian (atau tidak) terhadap pensiun 5) Memperoleh kepuasan dari pensiun.5 Kegagalan dalam mengantisipasi dan beradaptasi pada berbagai tahap pensiun ini akan menyebabkan maladjustment pada seorang pensiunan. Lebih dari 14.000 anggota kelompok pekerjaan tujuh tahun sebelum dan sesudah pensiun dan menemukan bahwa pensiun dikaitkan dengan penurunan kesehatan suboptimal. Terjadi peningkatan kondisi penyakit dan kesulitan dalam mobilitas dan aktivitas sehari-hari juga seperti penurunan kesehatan mental selama rata-rata periode enam tahun pasca pensiun. Kurangnya penyesuaian terhadap kehidupan pensiun seringkali bermanifestasi sebagai faktor risiko bagi mereka untuk terlibat dalam perilaku coping yang maladaptif. Studi empiris menemukan bahwa tingkat penyesuaian yang lebih rendah untuk pensiun dikaitkan dengan peningkatan penggunaan alcohol dan peningkatan tingkat merokok<em>. Retirement maladjustment</em> atau <em>post power syndrome</em> dapat bermanifestasi menjadi keluhan atau gejala yang terdeteksi dalam <em>Comprehensive Geriatric Assessment</em>. Post power syndrome akan n3ampak sedih, takut, cemas, merasa inferior atau rendah diri, merasa tidak berguna, putus asa dan penuh dengan kebingungan, membuatnya lebih mudah untuk merasa putus asa. Hendaya psikologis ini akan menghambat seorang individu dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (Activities of Daily Living) yang kemudian membuat kualitas hidup pasien menurun. Intervensi dan penagangan <em>post power syndrome</em> yaitu <em>Managing expectations, Pre-retirement planning, </em>Dukungan Sosial berupa <em>group therapy</em>, dan <em>body satisfaction</em> dalam hal Meditasi dan Terapi Perilaku.</p> 2024-06-30T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jmr/article/view/56303 REHABILITASI MEDIK PADA TENDINITIS PATELLA 2024-06-30T22:45:23+08:00 Kiki Stefanus jioestefanus@gmail.com Joudy Gessal joudy.gessal@gmail.com Christina Adelle Damopolii christinaadelle17@gmail.com <p>Tendinopati patela, atau "jumper’s knee”, merupakan cedera kronis yang berlebihan pada tendon patela akibat tekanan berlebihan pada mekanisme ekstensor lutut. Atlet yang terlibat dalam olahraga yang membutuhkan lompatan, lari, dan tendangan berulang (misalnya, bola voli, bola basket, tenis, lari) memiliki risiko terbesar. Insidensinya berkisar antara 22% hingga 39% pada pemain bola voli. Dibandingkan dengan wanita, pria mengalami peningkatan insidensi tendinopati patela; sindrom patellofemoral, di sisi lain, lebih sering terlihat pada wanita, baik atlet elit maupun pejuang akhir pekan. Hal ini diduga karena pria umumnya memiliki tinggi dan berat badan yang lebih besar, mengakibatkan pembebanan gaya yang lebih besar pada mekanisme ekstensor lutut. Akselerasi, deselerasi, lepas landas, dan pendaratan menghasilkan gaya eksentrik yang bisa tiga kali lebih besar dari gaya konsentris dan statis konvensional. Kekuatan eksentrik ini dapat melebihi kekuatan yang melekat pada tendon patela, menghasilkan robekan mikro di titik mana saja di sepanjang antarmuka tulang-tendon. Dengan tekanan yang berlanjut, siklus robekan mikro, degenerasi, dan regenerasi melemahkan tendon dan dapat menyebabkan tendon ruptur. Dalam mengobati tendinosis patella dan tendinopathies kronis lainnya, tim perawatan harus menekankan pemulihan fungsi daripada pengendalian peradangan. Ini adalah sindrom overuse yang tidak memiliki kecenderungan usia atau jenis kelamin. Selanjutnya, perawatan regeneratif telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dibandingkan dengan terapi kortikosteroid untuk gejala yang menetap.</p> 2024-06-30T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jmr/article/view/56305 PENANGANAN REHABILITASI MEDIK PADA PENATALAKSANAAN BEDAH ARTHRODESIS PADA KAKI CHARCOT TANPA KOMPLIKASI 2024-06-30T22:49:50+08:00 Devan Perwira devanperwira60@gmail.com Christina Adelle Damopolii christinaadelle17@gmail.com Joudy Gessal joudy.gessal@gmail.com <p><em>Impact of diabetes on the occurrence of Charcot's foot provides conservative treatment to the benefits of arthrodesis. Charcot foot is a debilitating joint disease characterized by progressive multiple bone destruction, dislocations, and severe deformities of the foot and ankle. Its prevalence may increase in the general high-risk population. Initial treatment of Charcot foot is often conservative and involves the use of bracing, casting, and special orthopedic shoes. This intervention allows the patient to functionally ambulate without resorting to more invasive interventions. Arthrodesis is an effective limb-saving method for patients with Charcot neuroarthropathy who have severe deformity and instability. This technique is usually used for chronic cases with irreversible deformity and/or joint instability to increase plantar pressure and balance of the foot and to minimize the risk of foot ulceration and amputation.In conclusion, non-weight bearing treatment dan immobilisation are the most effective rehabilitation management for active-phase Charcot foot accompanied by surgery consideration to maximize the functional of the foot. </em></p> 2024-06-30T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jmr/article/view/56306 REHABILITASI MEDIK PADA SWIMMER’S SHOULDER 2024-06-30T22:55:30+08:00 Jenisa Reivana Febiola Symons jenisareivana@gmail.com Joudy Gessal joudy.gessal@gmail.com Christina Adelle Damopolii christinaadelle17@gmail.com <p>Swimmer’s shoulder adalah cedera yang paling umum pada perenang dan didefinisikan sebagai sindrom nyeri yang terjadi sebagian besar di daerah anterior bahu dan hasil dari impingement berulang rotator cuff di bawah lengkungan coracoacromial selama gerakan teknis berenang. g. Etiologi nyeri ini bervariasi menurut individu dan dapat mencakup kombinasi kelemahan dan ketidakstabilan glenohumeral, GIRD, diskinesis skapula, pelampiasan subakromial dan internal, robekan labral, jebakan saraf skapula, dan tendinopati rotator cuff, antara lain. Etiologi ini tampaknya memiliki sumber yang sama, masing-masing timbul dari penggunaan berlebihan bersama dengan mekanik stroke dan teknik peregangan yang tidak tepat.1 Akibat dari kompleksitas, kombinasi, dan variasi yang ditemui saat memeriksa swimmer’s shoulder yang mengalami nyeri, diagnosis yang tepat mungkin akan sulit untuk ditegakkan. Sejumlah besar uji provokasi dan studi pencitraan sangat penting dalam mengidentifikasi sumber dari nyeri dan dalam menentukan tatalaksana yang sesuai. Walaupun beberapa patologi mungkin dapat ditatalaksana secara simptomatis dengan es dan NSAID, atlet dengan nyeri persisten sebaiknya dilakukan evaluasi oleh dokter spesialis yang dapat menawarkan tatalaksana yang lebih agresif. Terapi fisik terutama dapat membantu untuk menyeimbangkan kelompok otot, mengurangi gejala di tengah musim kompetisi, dan berpotensi mencegah cedera di masa yang akan datang. simpulan studi ini ialah penanganan non-weight bearing dan imobilisasi merupakan penanganan rehabilitasi untuk rehabilitasi medik pada swimmer’s shoulder dengan pertimbangan tindakan pembedahan untuk memaksimalkan.</p> 2024-06-30T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jmr/article/view/56307 REHABILITASI MEDIK PADA TRIGGER FINGER 2024-06-30T22:59:04+08:00 Kortensi Karianga kariangakortensi@gmail.com Joudy Gessal joudy.gessal@gmail.com Christina Adelle Damopolii christinaadelle17@gmail.com <p><em>Trigger Finger</em> (TF) disebut juga <em>stenosing flexor tenosynovitis</em>, merupakan salah satu patologi paling umum dari kecatatan tangan yang didapati di klinik dan merupakan penyebab utama ke empat rujukan di klinik. <em>Trigger finger</em> lebih sering terjadi pada wanita daripada pria (sekitar 3:1) dan cenderung terjadi pada usia 50-60 tahun. Pada populasi orang dewasa, prevalensi <em>trigger finger</em> 2% sampai 3% dan insiden 28 kasus per 100.000 penduduk per tahun. <em>Trigger finger</em> berhubungan dengan kondisi kerja atau lingkungan kerja dimana melibatkan gerakan menggenggam yang kuat dan berulang-ulang dalam waktu lama. Selain itu, kondisi sistemik seperti gangguan endokrin (misalnya diabetes melitus, hipotiroidisme, mucopolysaccharidosis) dan varises dapat mencetuskan terjadinya <em>trigger finger. </em>Ibu jari (33%) dan jari manis (27%) merupakan yang paling sering terkena pada orang dewasa, tetapi 90% <em>trigger finger</em> pada anak-anak melibatkan ibu jari dan 25% nya bilateral. <em>Trigger finger</em> terjadi melalui perbedaan dalam diameter tendon fleksor dan selubungnya pada bagian caput metacarpal. Gerakan berulang tendon melewati <em>pulley</em> dapat menyebabkan hipertrofi dan fibrosis selubung retinakular. Hal ini mengakibatkan gangguan pada tendon untuk meluncur, edema dan akhirnya menyebabkan tendon terjepit atau terkunci pada <em>tendon sheath</em> atau <em>pulley</em>. Gejala klasik <em>trigger finger</em> berupa jari menekuk dan terkunci. Awalnya pasien akan mengeluh jari-jari berbunyi tanpa rasa sakit saat digerakkan dan secara progresif akan menimbulkan nyeri yang terlokalisir mulai dari telapak tangan hinga sendi-sendi metacarpal (MCP) atau proksimal interphalang (PIP). Pasien akan mengeluh kekakuan atau pembengkakan pada sendi MCP dan DIP sampai tidak dapat melakukan fleksi dan ekstensi. Karakteristik pemeriksaan fisik pada <em>trigger finger</em> ditandai dengan <em>locking, popping</em> atau <em>clicking</em> pada pangkal jari atau ibu jari. Pemerikssan fisik yang dapat dilakukan adalah <em>Finklestein test, Phalen test, Tinel test, Circle formation, Froment sign, </em>dan <em>Allen test</em>. Secara umum, pemeriksaan radiologis tidak diperlukan. Namun, ultrasonografi dan MRI dapat membantu mendiagnosis pada gejala yang tidak khas. Terapi <em>trigger finger</em> meliputi farmakologis (NSAID dan injeksi kortikosteroid, non farmakologis, dan pembedahan bila diperlukan. Dengan pengobatan, prognosisnya baik.</p> 2024-06-30T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2024