https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/issue/feedLEX CRIMEN2024-11-20T14:43:49+08:00Frans Maramisfransmaramis@unsrat.ac.idOpen Journal SystemsJurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana.<br />Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/59102PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN BERAT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANTG PERLINDUNGAN SAKSI2024-11-20T12:14:36+08:00Suriani Tumba’ UwaSURYANI@GMAIL.COM<p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana proses perlindungan hukum terhadap saksi dan bagaimana perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak pidana penganiyaan berat menurut undang undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Perlindungan hukum terhadap saksi merupakan aspek krusial dalam sistem peradilan pidana. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa saksi dapat memberikan kesaksian secara jujur tanpa adanya rasa takut atau ancaman. Perlindungan ini mendukung terciptanya proses peradilan yang adil dan transparan, serta menghindari pengaruh negatif terhadap hasil peradilan. Di Indonesia, perlindungan hukum terhadap saksi diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-undang ini memberikan kerangka hukum yang jelas untuk melindungi saksi dan korban, termasuk hak-hak mereka dan mekanisme perlindungan yang tersedia. Proses perlindungan dimulai dengan pengajuan permohonan perlindungan oleh saksi atau pihak berwenang kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK kemudian melakukan evaluasi terhadap permohonan tersebut, memberikan perlindungan yang sesuai (seperti perlindungan fisik, anonimitas, atau dukungan psikologis), dan memantau efektivitas perlindungan yang diberikan. 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 memberikan dasar hukum yang kuat untuk perlindungan saksi dan korban di Indonesia, termasuk dalam kasus tindak pidana penganiayaan berat. Undang-undang ini menetapkan berbagai hak bagi saksi, termasuk hak untuk mendapatkan perlindungan fisik, psikologis, dan administratif, serta memastikan keamanan dan kenyamanan saksi dalam proses peradilan. Undang-undang ini mengatur mekanisme perlindungan yang meliputi, Perlindungan Fisik, Perlindungan Anonimitas, Perlindungan Psikologis dan Kompensasi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa, Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap saksi sering menghadapi berbagai tantangan, termasuk, Keterbatasan Sumber Daya, Kurangnya Sosialisasi, ancaman terhadap saksi dan lainnya.</p> <p> </p> <p><strong>Kata Kunci: </strong>Perlindungan Saksi, dan Tindak Pidana Penganiayaan Berat.</p>2024-11-09T00:00:00+08:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/59103PENETAPAN SANKSI YANG SETIMPAL UNTUK PENADAHAN DENGAN NILAI BARANG (STUDI KASUS PUTUSAN PT BANDA ACEH NO. 367/PID/2023/PT BNA)2024-11-20T12:26:20+08:00Rahmita UmarRahmitaUmar@GMAIL.COM<p>Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan penadahan dan penadahan ringan dalam KUHP serta tindak pidana ringan dalam KUHAP dan bagaimana penerapan pemidanaan yang setimpal berkenaan dengan penadahan dengan nilai barang tidak mahal menurut putusan PT Banda Aceh No.: 367/Pid/2023/PT BNA. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Penadahan ringan (Pasal 482 KUHP), merupakan bentuk khusus yang diperingan dari penadahan, jika kejahatan dari mana barang tersebut diperoleh adalah Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), atau Pasal 379 (penipuan ringan), yang nilai barangnya, setelah perubahan dengan Perma Nomor 02 Tahun 2012, adalah tidak lebih dari Rp2.500.000,00; sedangkan tindak pidana ringan merupakan tindak pidana yang diperiksa dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan (Pasal 205 – 210 KUHAP), yaitu perkara yang menurut Perma Nomor 02 Tahun 2012 mencakup pencurian, penggelapan, penipuan dan penadahan yang nilai barang atau uang tidak lebih dari Rp2.500.000,00. 2. Penerapan pemidanaan yang setimpal berkenaan dengan penadahan dengan nilai barang tidak mahal menurut putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh No.: 367/Pid/2023/PT BNA, yaitu hukuman harus sesuai atau setimpal dengan kesalahan dan juga dengan tujuan untuk memberikan pelajaran kepada terdakwa agar menyadari kesalahan yang dilakukannya tersebut, sehingga seboleh-bolehnya pidana penjara dihindari dengan mengenakan pidana percobaan/bersyarat.</p> <p><strong>Kata kunci</strong>: Penetapan Sanksi, Setimpal, Penadahan, Nilai Barang</p>2024-11-09T00:00:00+08:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/59106PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU KEKERASAN ANAK “BULLYING” YANG DILAKUKAN OLEH ANAK2024-11-20T14:18:40+08:00Enggelina WataniaEnggelinaWatania@gmail.com<p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana aturan hukum yang mengatur tindak pidana yang dilakukan anak dibawah umur dan untuk mengetahui dan memahami bagaimana penegakan hukum terhadap anak dibawah umur pelaku tindak pidana kekerasan <em>bullying</em>. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Aturan hukum yang diberlakukan bagi pelaku perundungan atau <em>bullying</em> terhadap anak secara nasional telah memperoleh dasar pijakan yuridis di antaranya, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional serta Pasal 21 sampai 25 Perubahan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 2. Penegakan hukum terhadap Pelaku perundungan atau Bullying yang dilakukan oleh anak dibawah umur dapat dijerat dalam pasal-pasal KUHP maupun dalam Undang-Undang ITE, namun bentuk penindakan dan peradilan agak berbeda dengan orang dewasa. Penerapan konsep diversi merupakan bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan, perlindungan anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat dengan melakukan pencegahan. pelanggaran sudah terlanjur ditangkap oleh polisi dalam setiap pemeriksaan peradilan untuk dapat melakukan diversi dalam bentuk menghentikan pemeriksaan.</p> <p> </p> <p>Kata Kunci : <em>bullying, pelaku oleh anak</em></p> <h1> </h1>2024-11-09T00:00:00+08:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/59107EFEKTIVITAS UPAYA PAKSA (DWANG MIDDELEN) DALAM PELAKSANAAN SISTEM PERADILAN PIDANA PADA TINGKAT PENYIDIKAN 2024-11-20T14:30:32+08:00Riandy Indra Swingly Sendowriandys@gmail.com<p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami upaya paksa dalam penyidikan merupakan cara yang efektif dan untuk mengetahui dan kualitas peran penyidik dalam pelaksanaan upaya paksa. Dengan menggunakan metode penelitian Hukum Empiris atau Sosiologis, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Upaya paksa diterima secara umum, tapi tetap dibatasi oleh hukum. Meskipun demikian, seringkali dalam praktiknya terjadi pelanggaran terhadap aturan yang ada. Meski tujuannya adalah untuk menjaga hak tersangka, penggunaan upaya paksa harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak disalahgunakan oleh penyidik dan tetap mengedepankan nilai keadilan. Pengawasan terhadap upaya paksa bertujuan utama untuk melindungi hak asasi manusia dari penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum. Salah satu bentuk pengawasan horizontal yang diakomodasi oleh KUHAP adalah lembaga praperadilan. 2. Makna upaya paksa oleh penyidik dalam hukum acara pidana Indonesia adalah memberikan kepastian hukum kepada aparat penegak hukum, terutama penyidik. Ini memungkinkan mereka untuk mencari dan mengumpulkan bukti, termasuk tindakan seperti menyita barang dan menahan warga negara. Penyidik juga bertanggung jawab untuk mencegah pelanggaran dalam segala aspek dalam penyidikan, namun, kewenangan penyidik tidak boleh menghalangi segala perlindungan yang merupakan hak.</p> <p> </p> <p>Kata Kunci : <em>upaya paksa, pelaksanaan sistem peradilan pidana, penyidikan</em></p>2024-11-09T00:00:00+08:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/59108ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK DENGAN DIVERSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 2024-11-20T14:35:55+08:00Holymey Angelique Desire LapodHolymeyLapod@GMAIL.COM<p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui<br>bagaimana perlindungan hukum terhadap anak<br>berdasarkan sistem diversi Undang-Undang No.11<br>Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana<br>Anak dan untuk mengetahui bagaimana<br>pelaksanaan penegakan hukum terhadap anak<br>melalui diversi berdasarkan Undang-Undang<br>No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan<br>Pidana Anak. Dengan menggunakan metode<br>penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan<br>yaitu: 1. Sistem diversi dalam Undang-Undang<br>No.11 Tahun 2012 berfungsi sebagai sarana<br>perlindungan hukum terhadap anak yang<br>berhadapan dengan hukum. Diversi bertujuan<br>untuk menghindarkan anak dari proses peradilan<br>pidana yang dapat merugikan perkembangan<br>psikologis dan sosial mereka. Dalam hal ini,<br>diversi memberikan alternatif penyelesaian<br>melalui mediasi, konseling atau bentuk<br>penyelesaian lainnya yang lebih mengedepankan<br>rehabilitasi daripada hukuman dengan<br>memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan<br>mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan<br>dari proses peradilan pidana. 2. Pelaksanaan<br>penegakan hukum terhadap anak melalui diversi<br>merupakan langkah yang penting dalam sistem<br>peradilan pidana anak di Indonesia. Berdasarkan<br>Undang-Undang No.11 Tahun 2012, diversi<br>dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak,<br>seperti penyidik, penuntut umum, pengadilan dan<br>lembaga sosial, untuk mencari solusi yang lebih<br>tepat bagi anak seperti, mediasi, konseling atau<br>program pembinaan. Meskipun demikian,<br>implementasi diversi masih menghadapi berbagai<br>tantangan, termasuk kurangnya pemahaman<br>masyarakat dan aparat hukum tentang pentingnya<br>diversi, serta terbatasnya fasilitas yang<br>mendukung terhadap pelaksanaan diversi.<br>Kata Kunci : perlindungan hukum bagi anak,<br>diversi</p>2024-11-09T00:00:00+08:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/59109PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN PADA PENYANDANG DISABILITAS DITINJAU DARI HAK ASASI MANUSIA2024-11-20T14:43:49+08:00Novena Rosari Mechtildis LimpulusNOVENALUMPULUS@GMAIL.COM<p>Penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok rentan dalam masyarakat yang seringkali menghadapi diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi mereka, termasuk menjadi korban tindak pidana penganiayaan. Penganiayaan terhadap penyandang disabilitas semakin meningkat dari tahun ke tahun, hal ini tercermin dari peningkatan pemberitaan mengenai kasus-kasus penganiayaan penyandang disabilitas yang semakin banyak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum tindak pidana penganiayaan pada penyandang disabilitas dan untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan pada penyandang disabilitas. Dengan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa meskipun telah tersedia kerangka perlindungan hukum yang komprehensif bagi penyandang disabilitas dari tindak penganiayaan, namun dalam praktiknya masih ditemui berbagai kendala implementasi yang disebabkan oleh stigma sosial dan keterbatasan pemahaman di kalangan penegak hukum.</p> <p><strong>Kata Kunci : </strong>Penyandang Disabilitas, Tindak Pidana Penganiayaan, Penegakan Hukum, Hak Asasi Manusia.</p>2024-11-09T00:00:00+08:00Copyright (c) 2024