LEX CRIMEN https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana.<br />Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat. en-US fransmaramis@unsrat.ac.id (Frans Maramis) fransmaramis@unsrat.ac.id (Frans Maramis) Tue, 09 May 2023 13:38:42 +0800 OJS 3.3.0.12 http://blogs.law.harvard.edu/tech/rss 60 TINDAK PIDANA PEMAKSAAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/47970 <p>Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami tindak pidana pemaksaan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 dan untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban bagi pelaku pemaksaan perkawinan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Perkawinan adalah Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Perkawinan yang sah artinya, telah memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan, baik secara agama maupun menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Pemaksaan perkawinan di Indonesia, termasuk ke dalam salah satu tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 Ayat (1) Huruf e UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 2. Pemaksaan perkawinan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, termasuk ke dalam salah satu jenis Tindak Pidana Seksual (lihat Pasal 4 Ayat (1) Huruf e UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Pemaksaan perkawinan karena termasuk dalam tindak pidana, oleh karena itu harus memenuhi unsur-unsur dimaksud agar dimintakan pertanggungjawaban terhadap para pelakunya. Bentuk pertanggungjawaban pelaku pemaksaan perkawinan, baik itu perkawinan anak, pemaksaan perkawinan mengatasnamakan praktik budaya maupun pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan adalah sanksi berupa denda dan/atau penjara sebagaimana ditegaskan Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman hukuman denda paling banyak dua ratus juta rupiah, denda penjara paling lama Sembilan tahun.</p> <p>&nbsp;</p> <p><strong>Kata Kunci : Pemaksaan Perkawinan</strong></p> Juvani Leonardo Fiore Mongkaren; Debby Telly Antow, Rudolf Sam Mamengko Copyright (c) 2023 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/47970 Tue, 09 May 2023 00:00:00 +0800 TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PUTUSAN BEBAS OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI MANADO TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NO. 4/Pid.Sus-TPK/2021/PN Mnd) https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/47986 <p>Korupsi sering kali menjadi perbuatan yang dapat&nbsp; mengancaman keuangan dan perekonomian Negara. Dalam persidangan di Indonesia, Pengadilan banyak menangani kasus perkara Korupsi akan tetapi jarang di temukan kasus korupsi yang dalam persidangan di putuskan Bebas bagi para terdakwa apa lagi Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa(<em>extraordinary cime)</em>. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan&nbsp; dengan tujuan adalah untuk mengetahui bagaimana putusan bebas dapat di terapkan, dan apa saja faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi lahirnya putusan bebas, serta bagaimana penerapan hukum pidana materil terhadap tindak pidana korupsi yang di tinjau dari aspek yuridis</p> <p>Kata Kunci : Korupsi, putusan bebas, putusan nomor 4/Pid.Sus-TPK/2021/PN Mnd.</p> Julio Enriko Kristi Tumuwo; Adi Tirto Koesomo, Herlyanty Bawole Copyright (c) 2023 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/47986 Wed, 10 May 2023 00:00:00 +0800 PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PUNGUTAN LIAR MENURUT UNDANG- UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/48009 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap pungutan liar menurut undang-undang tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang di gunakan dalam penulisan ini adalah metode pendekatan Yuridis Normatif, dimana penelitian hukum yuridis normatif atau penelitian kepustakan yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti tulisan pustaka atau data sekunder belaka yang berhubungan dengan judul skripsi. Adapun bahan hukum primer yang di gunakan yakni peraturan perundang-undangan. Dalam penulisan ini untuk data penelitian normatif empiris, penulis melakukan studi dokumen atau bahan pustaka dengan cara mengunjungi perpustakaan, membaca, mengkaji, dan mempelajari buku-buku, literatur-literatur, peraturan perundang- undangan, jurnal ilmiah, internet dan sumber lainnya yang terkait dengan pungutan liar. maka penguraian data-data tersebut selanjutnya akan di Analisa dalam bentuk analisis kualitatif yuridis, dalam arti bahwa dalam melakukan analisis terhadap data yang diperoleh tidak diperlukan perhitungan statistik. Tindak pidana korupsi Tindak pidana korupsi yang sangat erat kaitannya dengan kajahatan jabatan ini, karena rumusan pada pasal 415 pasal penggelapan dalam KUHP diadopsi oleh UU No. 31 tahun 1999 yang kemudian diperbaiki oleh UU No. 20 tahun 2001, yang dimuat dalam pasal 8 Pemerintah pusat satuan pungutan liar yang diatur dalam peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016. Pemerintah menyiapkan tiga cara pelaporan untuk masyarakat agar terlibat aktif melaporkan tindakan pungli di lapangan, baik melalui internet, SMS, maupun telepon. Perbuatan-perbuatan tersebut diatas juga melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya pada pasal 12 huruf e yaitu, pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam hal ini guru maupun lembaga pendidkan atau pihak penyelenggara penddikan yang merupakan pegawai negeri yang bermaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa peserta didik atau walinya memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.</p> <p>Kata Kunci : Hukum Pidana , Pungutan Liar , Tindak Pidana Korupsi</p> <h1>&nbsp;</h1> Chan Dwirisa Silitonga; Refly Singal, Marthin Doodoh Copyright (c) 2023 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/48009 Wed, 10 May 2023 00:00:00 +0800 Pemberian Ganti Kerugian Sebagai Pemenuhan HAM Terhadap Korban Salah Tangkap Menurut UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/48026 <p>Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan dalam pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap yang merupakan bagian daripada Hak Asasi Manusia. dan untuk mengetahui penegakan Hak Asasi Manusia melalui pemberian ganti kerugian kepada korban salah tangkap. Korban salah tangkap seringkali terjadi di indonesia dikarenakan kekeliruan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas mereka. Kepolisian dalam menangkap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Bukti permulaan yang cukup ini akan dijadikan dasar oleh pihak kepolisian dalam menetapkan tersangka dari kasus tindak pidana. Sekurang-kurangnya pihak kepolisian harus mengantongi dua alat bukti yang sah menurut KUHAP diantaranya adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. &nbsp;Namun pada kenyataanya, pihak kepolisian seringkali mengabaikan hal ini sehingga muncullah kasus salah tangkap ini. Pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap yang terbukti tidak bersalah merupakan sebuah pemenuhan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Karena dalam proses pengungkapan perkara pidana tersebut telah mengambil hak-hak dasar korban salah tangkap sebagai contoh, seseorang dipenjara oleh pihak kepolisian maka hak yang dicabut adalah hak kebebasan pribadi yang dimana hal ini termasuk kedalam hak yang melekat dari lahir dan hanya bisa dicabut kalau seseorang benar-benar seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap hukum. Pada pelaksanaannya, korban salah tangkap bisa mengajukan permohonan ganti kerugian. Pengajuan ini dapat dilakukan melalui praperadilan setelah adanya penetapan bahwa perkaranya tidak sah dalam hal penangkapan, penahanan, penggeledahan, penetapan tersangka, penyitaan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. Kemudian, korban salah tangkap juga bisa mengajukan ke pengadilan negeri apabila kasus salah tangkap tersebut terbukti tidak bersalah pada pemeriksaan di sidang pengadilan. Korban salah tangkap wajib mendapatkan putusan bebas yang berkekuatan hukum yang tetap agar dapat mengajukan permohonan ganti kerugian.</p> <p><strong>Kata Kunci</strong> : Ganti Kerugian, Hak Asasi Manusia, Korban Salah Tangkap.</p> Vernando Satria Bima Murti; Jolly Ken Pongoh, Victor Demsi Denli Kasenda Copyright (c) 2023 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/48026 Thu, 11 May 2023 00:00:00 +0800 TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUTAN UDARA NIAGA MENURUT KONVENSI MONTREAL 1999 DAN UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/48513 <p>Konvensi Montreal 1999 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah dua peraturan hukum yang mengatur tanggung jawab hukum pengangkutan udara niaga. Konvensi Montreal 1999 adalah sebuah perjanjian internasional yang membahas tanggung jawab maskapai penerbangan terkait dengan kerugian yang timbul akibat kecelakaan atau insiden di udara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah undang-undang nasional yang mengatur berbagai aspek pengangkutan udara, termasuk tanggung jawab hukum maskapai penerbangan dalam melakukan operasi penerbangan niaga.</p> <p>Konvensi Montreal 1999 adalah sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk mengatur tanggung jawab maskapai penerbangan dalam hal kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan barang, serta kerugian pribadi atau kematian penumpang yang terjadi selama penerbangan.</p> <p>Pengaturan hukum pengangkutan udara niaga menurut Konvensi Montreal 1999 didasarkan pada prinsip tanggung jawab maskapai penerbangan terkait dengan kerugian yang timbul akibat kecelakaan atau insiden di udara.</p> <p><em>Kata Kunci</em> : Konvensi Montreal 1999, Pengangkutan udara niaga, Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.</p> Revino Wahyu Mumek; caecilia J.J. Waha, Max Karel Sondakh Copyright (c) 2023 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/48513 Fri, 02 Jun 2023 00:00:00 +0800 YURISDIKSI UNIVERSAL DALAM MENGADILI KEJAHATAN TERORISME MENURUT HUKUM PIDANA INTERNASIONAL https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/48514 <p>Kejahatan terorisme yang dilakukan oleh perorangan maupun organisasi dilihat dari sejarahnya sudah dikenal sangat lama, namun masalahnya dari aspek hukum adalah pendefinisian yang pasti tentang terorisme itu sendiri. Menurut Liga Bangsa-bangsa tahun 1937, “<em>terrorism is all criminal acts directed against a state and intended and calculated to create a state of terror in the minds of particular persons a group of persons or the general public</em>”. Namun konvensi ini tidak pernah berlaku sebagai hukum internasional positif, sebab tidak memenuhi syarat mengenai berlakunya karena tidak cukup jumlah minimum negara-negara yang meratifikasinya. Asal usul atau sejarah awal pemberlakuan yurisdiksi universal adalah bermula dari kasus pembajakan laut sejak tahun 1998. Pembajakan merupakan tindak pidana pertama yang tunduk dalam yurisdiksi universal. Bahkan dapat dikatakan bahwa prinsip yurisdiksi universal lahir pertama kali disebabkan karena adanya keinginan dari negara-negara untuk menindak kejahatan pembajakan yang dilakukan di laut lepas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimana eksistensi kejahatan terorisme dalam perspektif hukum pidana internasional dan Bagaimana penerapan prinsip yurisdiksi universal dalam mengadili kasus kejahatan terorisme, dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan: 1. Dalam dinamika pencegahan dan pemberantasan kejahatan terorisme, masyarakat internasional terutama di kalangan negara-negara anggota PBB mengalami perbedaan pendapat berkenaan dengan pengertian terorisme itu sendiri. Al-Qaeda dan ISIS adalah dua kelompok besar terorisme internasional yang sangat populer bagi masyarakat internasional. Kejahatan terorisme digolongkan sebagai kejahatan transnasional karena penegakan hukumnya hanya bisa melalui yurisdiksi universal di setiap negara. 2. Yurisdiksi universal diterapkan negara tanpa batas atau tanpa keterkaitan dengan tindak pidana dan tidak mempedulikan kegiatan yang sedang dilakukan negara lain berkaitan dengan kejahatan tersebut. Kejahatan terorisme masuk ke dalam kompetensi yurisdiksi universal karena telah digolongkan sebagai kejahatan serius (<em>serious crime</em>). Penerapan yurisdiksi universal masih dianggap sebagai cara yang efektif untuk menghapuskan impunitas dalam tingkat nasional bagi pelaku terorisme, namun pada praktiknya teori ini masih mengalami banyak hambatan.</p> <p>Kata Kunci: Yurisdiksi Universal, Terorisme, <em>Serious Crime</em>, Transnasional.</p> <p><a href="#_ftnref1" name="_ftn1"></a></p> Waraney Timothy Osak; Fernando Max Karisoh, Natalia L. Lengkong Copyright (c) 2023 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/48514 Fri, 02 Jun 2023 00:00:00 +0800 Pemberlakuan Ketentuan Pidana Apabila Melakukan Tindak Pidana Di Bidang Industri Pertahanan https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/48533 <p>Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk larangan apabila membocorkan informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi alat peralatan pertahanan dan keamanan yang bersifat strategis bagi pertahanan dan keamanan dan bagaimana pemberlakuan ketentuan pidana apabila melakukan tindak pidana di bidang industri pertahanan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan:</p> <ol> <li>Bentuk-bentuk larangan apabila membocorkan informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi alat peralatan pertahanan dan keamanan yang bersifat strategis bagi pertahanan dan keamanan, seperti diantaranya membocorkan informasi yang bersifat rahasia, memproduksi alat peralatan pertahanan dan keamanan serta menjual, mengekspor, dan/atau melakukan transfer alat peralatan pertahanan dan keamanan yang bersifat strategis, dilarang membeli dan/atau mengimpor alat peralatan pertahanan dan keamanan yang bersifat strategis tanpa mendapat izin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.</li> <li>Pemberlakuan ketentuan pidana apabila melakukan tindak pidana di bidang industri pertahanan, seperti pidana penjara dan pidana denda yang terjadi baik karena kelalaian atau perbuatan dengan sengaja, diantaranya kelalaiannya mengakibatkan bocornya informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi atau perbuatan dengan sengaja mengakibatkan bocornya informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi termasuk memproduksi Alat peralatan pertahanan dan keamanan yang bersifat strategis tanpa mendapat izin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.</li> </ol> <p><strong>&nbsp;</strong></p> <p><strong>Kata kunci</strong>: Pemberlakuan Tindak Pidana, Industri Pertahanan</p> Feibi Kamu; Herlyanty Bawole, Marcel Maramis Copyright (c) 2023 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/48533 Mon, 05 Jun 2023 00:00:00 +0800 DASAR KEKUATAN MENGIKAT KETERANGAN SAKSI ANAK YANG BELUM CUKUP UMUR SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/49107 <p>Sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari berbagai sub – sistem yang ada, haruslah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan tahapan dalam proses peradilan pidana sebagaimana yang diamandatkan dalam Undang - undang. Diatur dalam pasal 184 KUHAP bahwa alat bukti yang sah salah satunya merupakan keterangan saksi, dimana keterangan saksi sendiri merupakan keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang saksi dengar lihat alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. Keterangan saksi bisa dibilang merupakan alat bukti yang paling krusial dalam persidangan dan hampir semua proses persidangan pidana tidak luput dari pemeriksaan keterangan saksi yang menjadi kunci utama dalam proses pembuktian. Dalam hal seseorang memberikan kesaksian dihadapan persidangan adalah mereka yang sudah dewasa menurut hukum. Namun terkadang, ada kalanya bahwa dalam suatu perbuatan pidana hanya disaksikan/dialami oleh seseorang yang masih dibawah umur dalam hal ini anak. Melalui penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan undang – undang dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kesaksian dari anak adalah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai keterangan saksi sehingga tidak dianggap sebagai alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana, namun keterangan tersebut dapat digunakan oleh hakim sebagai dasar untuk membentuk keyakinannya. Dan jika berkaitan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dapat kemudian dijadikan sebagai petunjuk.</p> <p>Kata Kunci : Saksi Anak, Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak Dibawah Umur, Alat Bukti Saksi Anak, Perkara Pidana.</p> Mario Valentino Latupeirissa; Rodrigo Fernandes Elias, Hironimus Taroreh Copyright (c) 2023 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/49107 Tue, 20 Jun 2023 00:00:00 +0800