Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana dan bagaimana kewenangan Presiden atas pengajuan Grasi. Dengan menggunakan metode peneltian yuridis normatif disimpulkan: 1. Eksistensi Grasi Terhadap Pelaksanaan Pemidanaan adalah, bahwa Grasi sebagai hak warga Negara. Pemohon yang mengajukan grasi tidak sebagai terpidana melainkan sebagai warga Negara yang berhak meminta ampun atas kesalahannya kepada presiden sebagai pimpinan Negara. Grasi sebagai hapusnya hak Negara untuk menjalankan pidana. Dengan dikabulkannya grasi, maka pidana yang dijatuhkan kepada seseorang dapat dihapus, berkurang atau dirubah jenisnya. Hubungan grasi dengan tujuan pemidanaan adalah dalam hal grasi dikabulkan maumpun ditolak disandarkan pada tujuan pemidanaan. Grasi bukan merupakan intervensi eksekutif. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak Pretogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Grasi tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim dan tidak dapat menghilangkan kesalahan terpidana. 2. Grasi, pada dasarnya merupakan pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
Kata kunci: Kewenangan, Presiden, grasi.