Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana problematika hubungan seksual sesama jenis dalam prespektif hukum positif dan bagaimana problematika hubungan seksual sesama jenis dalam prespektif hukum Islam di mana dengan metode peneleitianhukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Berbagai penjelasan diatas memberikan kesimpulan bahwa antara hukum positif dan hukum Islam sama-sama melarang perkawinan sesama jenis karena tidak sesuai dengan hukum perkawinan dari keduanya yang sama-sama meregulasi perkawinan itu antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya (heteroseks). Hal ini dibuktikan dengan pelbagai peraturan- peraturan yang telah ada. Dalam hal ini perkawinan dalam hukum Islam mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan perkawinan dalam hukum positif mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam hukum positif, perilaku seksual sejenis masuk dalam kategori perbuatan pidana pencabulan dan di pidana penjara selama lima tahun. Akan tetapi dalam Kitab Undang-undang pidana tidak mengatur secara mendetail hukuman bagi pelaku homoseksual yang cukup umur (dewasa). 2. Dalam hukum Islam, para ulama fiqh sepakat bahwa hukuman bagi pelaku homoseks/gay adalah, yang pertama dibunuh secara mutak. Kedua, dihad sebagaimana had zina, bila pelakunya jejaka ia didera, bila pelakunya muhsan ia harus di hukum rajam. Ketiga, dikenakan hukuman ta’zir. Malikiyah, Hanabilah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa had homoseks adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang jejaka maupun orang yang telah menikah. Menurut Abu Hanifah, pelaku homoseks/gay harus diberi sanksi berupa ta’zir. Ta’zir merupakan hukuman yang bertujuan edukatif, dan berat ringannya diserahkan kepada pengadilan (hakim)