PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PROSES PENGAMBILAN PUTUSAN PERKARA KORUPSI
Abstract
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konstruksi suatu putusan hakim dan bagaimana implikasi dissenting opinion terhadap suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara korupsi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengadilan sebagai lembaga yudikatif dalam struktur ketatanegaraan memiliki fungsi dan peran strategis dalam memeriksa, memutus dan mengadili dan diakhiri dengan suatu putusan pengadilan. Secara tegas telah dimuat dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mengacu pada Pasal 19 ayat (1) dan (2) serta Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Bentuk daripada putusan hakim adalah: Putusan bebas (vijsprach), Pasal 191 (1) KUHAP. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rectsvervolging), Pasal 101 ayat (2) KUHAP. Putusan pemidanaan (veroordeling), Pasal 193 (1) KUHAP. 2. Dissenting Opinion dalam KUHAP belum mengaturnya karena pranata tersebut belum lama dikenal di Indonesia dan belum banyak diterapkan dalam proses peradilan di Indonesia. Pasal 182 ayat (6) KUHAP masih mengandalkan sistim tertutup dan rahasia berdasarkan pendekatan konservatif, di mana suatu putusan harus dilandasi suatu pemufakatan bulat, kecuali apabila pemufakatan bulat tidak dapat dicapai maka putusan diambil dengan suara terbanyak dengan tetap memperhatikan prinsip in dubio proreo (yang paling menguntungkan terdakwa). Dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi dissenting opinion pernah dipraktekkan dalam kasus terdakwa Ir. H. Abdullah Pateh, Kasus Pengadaan Helikopter. Perkara No. 01/Pid.B/TPK/2004.
Kata kunci: Dissenting Opinion, Perkara Korupsi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi