TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN BAKU DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
Abstract
Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan perjanjian buku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam perjanjian baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Perjanjian baku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dapat ditemui dalam Pasal 1320 jo. 1338, namun ketentuan tersebut sifatnya masih sangat umum dan luas, sehingga kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberi pesan untuk mengatur secara tegas terkait perlindungan terhadap konsumen terlebih khusus dari ketidakadilan perjanjian baku. Pengaturan terkait dengan perjanjian baku dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga merupakan suatu bentuk lex specialis dari KUHPerdata sebagai generalisnya. Sehingga jika terjadi suatu perkara perjanjian baku landasan hukum yang dipakai adalah bersandar pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana tertulis dalam asas hukum lex specialis derogat legi generalis (aturan khusus mengenyampingkan aturan umum). Ketentuan terkait perjanjian baku terdapat dalam Pasal 1 angka 10 dan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Selain itu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengatur terkait perjanjian baku, yang dirinci lagi kedalam Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Sektor Jasa Keuangan Pasal 20 dan 21, serta Surat Edaran OJK No.13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku. 2. Perlindungan terhadap konsumen dalam perjanjian baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) hadir dalam kancah regulasi di Indonesia merupakan suatu ide untuk melindungi konsumen dalam perjanjian baku yang dalam aturan sebelumnya masih memberikan peluang terjadinya ketidakadilan dan ketidakseimbangan hubungan antara produsen dan konsumen yang berujung pada kerugian bagi konsumen sebagai pihak yang lemah. Dalam ketentuan Undang-Undang tersebut memberikan implikasi perlindungan terhadap konsumen dalam perjanjian baku melalui larangan-larangan sebagai bentuk perlindungan konsumen dan dilakukannya upaya-upaya pengawasan (Preventif) melalui lembaga BPSK dan OJK, dan upaya penegakan hukum (Represif) melalui Pengadilan Negeri di Indonesia.
Kata kunci: konsumen; perjanjian baku;