PEMBATALAN NIKAH MENURUT HUKUM KANONIK DALAM HUBUNGANNYA DENGAN SISTEM PERUNDANG – UNDANGAN DI INDONESIA

Authors

  • Bernhard I. M. Supit

Abstract

Persoalan pembatalan perkawinan merupakan sebuah masalah yang dihadapi oleh kehidupan masyarakat saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin pesatnya pertumbuhan masyarakat menuju globalisasi saat ini membuat sehingga terjadi berbagai pergeseran nilai dan norma masyarakat. Di Indonesia pada khususnya, masyarakat sedang dalam masa transisi yang sedang beranjak dari keadaannya yang tradisional menuju kepada kondisi yang lebih modern. Ada akibat positif dari perubahan ini, namun ada juga akibat negatif dari perubahan akibat masa transisi ini.[1] Sebagai akibat negatif, masyarakat mengalami degradasi nilai-nilai prinsipil dalam kehidupan, temasuk nilai-nilai kehidupan perkawinan. Pembatalan perkawinan pun acap kali menjadi masalah yang muncul. Pada umumnya masyarakat hukum adat di Indonesia tidak mengenal lembaga pembatalan perkawinan, oleh karena pada dasarnya hukum adat itu tidak berpegang pada persyaratan perkawinan yang memerlukan adanya persetujuan kedua calon mempelai, batas umur, larangan poligami, cerai kawin berulang, dan juga waktu tunggu untuk melangsungkan perkawinan. Yang hanya dikenal adalah karena pengaruh agama yang dianut, yaitu larangan perkawinan yang berhubungan darah, berhubungan semenda, hubungan susuan dan hubungan kekerabatan (klan atau keturunan).[2]Dalam hukum Islam tidak ada lembaga pembatalan perkawinan sehingga jika suami isteri sudah merasa tidak ada kecocokan maka berhak mengajukan talak sehingga dapat diproses melalui sidang perceraian tanpa memalui pembatalan perkawinan. Untuk agama Budha sanagt diharapkan tidak terjadi pembatalan perkawinan tetapi seandainya terjadi harus memlalui Pandita Agama Buhda Indonesia.Untuk agama Hindu tidak mengakui adanya pembatalan perkawinan karena mengingat kepercayaan mereka mengenai kehidupan yang selanjutnya. Sedangkan untuk agama Katolik makna pembatalan nikah yaitu dibatalkan dan dianggap tidak pernah terjadi.  Jadi dapat dikatakan pembatalan suatu pernikahan yang diakibatkan karena adanya alasan-alasan yang menyatakan pernikahan tersebut tidak sah menurut Hukum Gereja Katolik, maka dapat diproses untuk pembatalan perkawinan melalui lembaga hukum Gereja Katolik.


[1] Masyarakat transisi menurut istilah J. Useem dan R. H. Useem dinamakan “modernizing society.†Masyarakat seperti ini berbeda dengan “tradition orientedsociety†dan “modern society.†Bandingkan Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 102.

[2]Ibid., hlm. 78.

Author Biography

Bernhard I. M. Supit

e jornal fakultas hukum unsrat

Downloads

Published

2015-02-13