STATUS KEPEMILIKAN BENDA TIDAK BERGERAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA

Authors

  • Ahmadika Safira Edithafitri

Abstract

Sebelum adanya UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, tentang perkawinan campuran diatur dalam Peraturan Perkawinan Campuran atau Regeling Op De Gemengde Huwelijken disingkat GHR Stb. 1898 No. 158. Dengan diundangkannya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 adalah satu undang-undang nasional yang telah menciptakan pembaharuan hukum di bidang hukum perkawinan. Dalam Pasal 57 UU Perkawinan, yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia dan tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan serta salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan campuran secara eksplisit tidak mengatur tentang perkawinan berbeda kewarganegaraan untuk itu bagi pemerintah untuk dapat mengatur lebih eksplisit peraturan mengenai perkawinan campuran. Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah secara sah dengan Warga Negara Asing (WNA) dan WNI memperoleh asset berupa tanah dan status Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Milik atas Satuan Rumah Susun di atas tanah HGB, baik karena pewarisan, peralihan hak melalui jual-beli, hibah atau wasiat, maka dia wajib melepaskan hak-haknya. Pelepasan hak tersebut dengan cara menjual atau menghibahkan hak-hak atas tanah tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak-hak tersebut. Apabila telah lewat 1 (satu) tahun maka hak tersebut hapus karena hukum dan jatuh tanahnya kepada Negara. Akan tetapi, WNI dalam perkawinan campuran bisa memiliki Hak Milik dengan catatan bahwa yang bersangkutan mempunyai perjanjian perkawinan sebelum menikah mengenai pemisahan harta kekayaan. Apabila pelaku perkawinan campuran tidak mempunyai perjanjian pemisahan harta yang dibuat sebelum perkawinan, maka mereka tidak dapat memiliki hak milik atas tanah akan tetapi mereka masih bisa menjadi pemegang Hak Pakai.  Ada baiknya sebelum melakukan perkawinan campuran Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) yang akan melangsungkan perkawinan campuran membuat perjanjian perkawinan yang dibuat dihadapan notaris dan dicatatkan dalam lembaga pencatat perkawinan.

Author Biography

Ahmadika Safira Edithafitri

e journal fakultas hukum unsrat

Downloads

Published

2015-02-13