HAK WARIS ANAK PEREMPUAN TERHADAP HARTA PENINGGALAN (STUDI KASUS PUTUSAN MA RI NO. 4766/Pdt/1998)
Authors
Edo Hendrako
Abstract
Hukum waris di Indonesia masih bersifat majemuk, hal itu terjadi karena di Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Hukum Waris Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehubungan dengan belum adanya undang-undang tersebut, di Indonesia masih diberlakukan 3 (tiga) sistem hukum kewarisan yakni hukum kewarisan KUH Perdata, Islam, dan Adat. Selanjutnya melalui Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1 November 1961 Reg No. 179/K/Sip/1961 yang menyatakan bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan normatif, historis dan pendekatan hukum empiris. Hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana hak waris seorang anak perempuan menurut adat Bali serta bagaimana dampak putusan Mahkamah Agung RI No. 4766/Pdt/1998, pada hak mewaris masyarakat di Bali. Pertama, Keputusan Mahkamah Agung yang telah menetapkan ketentuan ahli waris menurut hukum adat, khususnya ahli waris anak perempuan, terdapat dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4766K/Pdt/1998 tertanggal 16 November 1999, dalam putusannya menyatakan bahwa anak perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris. Melalui keputusan tersebut menjelaskan bahwa anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari peninggalan warisan. Pembagian warisan menurut hukum adat Bali tidak saja terjadi setelah pewaris meninggal tetapi hidup pun pembagian warisan itu dapat dilakukan. Kedua, Pemerintah telah menciptakan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di Bali. Penempatan anak laki-laki sebagai ahli waris terkait erat dengan pandangan bahwa laki-laki Bali mempunyai tanggungjawab yang besar dalam keluarga, sementara tanggungjawab anak perempuan terhadap keluarga berakhir dengan kawinnya anak tersebut yang selanjutnya akan masuk dan menunaikan tanggungjawabnya secara total di lingkungan keluarga suami. Putusan Mahkamah Agung ini tidak terlalu berpengaruh terhadap hak waris seseorang perempuan dikarenakan putusan Mahkamah Agung ini berseberangan dengan Hukum Adat Bali dan juga Hukum Agama Hindu, beberapa masyarakat Bali masih saja menggunakan dalih hukum adat untuk mengingkari hukum yang berlaku di negara ini. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa Pemerintah melalui dari Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4766/Pdt/1998 tertanggal 16 November 1999 yang menyatakan bahwa anak perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris. Sistem kewarisan di Bali sama sekali tidak boleh dilepaskan dari serentetan kewajiban keagamaan yang mesti dilakukan oleh ahli waris sebagai dharma bhakti yang dilaksanakan untuk pewaris khususnya laki-laki yang menurut kepercayaan agama Hindu di Bali dapat menyelamatkan arwah leluhur roh pewaris ayahnya dari ancaman neraka. Tetapi disisi lain Pemerintah melalui dari Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4766/Pdt/1998 tertanggal 16 November 1999 yang menyatakan bahwa anak perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris