PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK SYARIAH DAN NASABAH PADA PEMBIAYAAN BERDASARKAN AKAD MUDHARABAH DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI
Abstract
Di antara Bank Syariah dengan nasabahnya terdapat suatu hubungan hukum yang erat sekali yang juga menimbulkan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik. Apabila di kemudian hari timbul persengketaan antara Bank Syariah dengan nasabahnya, maka berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, disebutkan pada Pasal 55 ayat-ayatnya, sebagai berikut: 1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. 2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. 3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Jenis atau tipologi penelitian ini ialah penelitian hukum normatif atau juga disebut sebagai penelitian hukum kepustakaan. Penulis menggunakan beberapa pendekatan di dalam penelitian ini yang meliputi pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan perbandingan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa khususnya dalam sengketa bisnis, secara teoritis ada dua cara yang dapat ditempuh dalam menghadapi atau menyelesaikan sengketa, yaitu secara adversarial atau litigasi (arbitrase atau pengadilan), dan secara kooperatif (negosiasi, mediasi, atau konsiliasi). Penyelesaian sengketa bisnis secara litigasi, berarti sebagai penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan. Dalam rangka sengketa bisnis di lingkungan Perbankan Syariah, ditentukan pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 yang menyatakan penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjelaskan landasan konstitusional dari Peradilan Agama sebagaimana yang dimaksud oleh ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang menyatakan kewenangan atau kompetensi Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah. Persengketaan antara Bank Syariah khususnya PT. Bank Syariah Mandiri dengan nasabahnya, pasca berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah disebutkan sebelumnya, tidak lagi diselesaikan melalui Peradilan Umum (Pengadilan Negeri), melainkan sudah menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama untuk menyelesaikannya. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah mengalami perubahan dengan diberlakukannya kompetensi absolut Peradilan Agama di dalam menyelesaikan sengketa di bidang Perbankan Syariah pasca-putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012, sehingga penyelesaian sengketa meliputi penyelesaian melalui peradilan (agama) (litigasi) dan melalui non-litigasi yakni musyawarah, mediasi perbankan dan Basyarnas. Sengketa Perbankan Syariah pada PT. Bank Syariah Mandiri apabila objek sengketanya adalah Akad Pembiayaan Mudharabah, tidak sepenuhnya dibebankan kepada nasabah melainkan ada pula yang menjadi tanggungjawab PT. Bank Syariah mandiri, seperti situasi perekonomian yang bergejolak yang berpengaruh bagi kegiatan usaha