LEX PRIVATUM https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum en-US jeankermite@yahoo.com (Jeany Anita Kermite, SH, MH) jeankermite@yahoo.com (Jeany Anita Kermite, SH, MH) Wed, 21 Feb 2024 10:26:50 +0800 OJS 3.3.0.12 http://blogs.law.harvard.edu/tech/rss 60 TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEKERJA YANG MENGUNDURKAN DIRI SEBELUM MASA PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) BERAKHIR https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54503 <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Dunia pekerjaan terdapat dua belah pihak yang saling berhubungan, contohnya pekerja atau sering disebut buruh dan pihak perusahaan (majikan). Ketentuan terkait hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.</p> <p>Dalam konteks hukum ketenagakerjaan di Indonesia, sebuah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha yang memiliki batas waktu tertentu untuk masa kerja. Pada umumnya, PKWT memiliki batas waktu yang jelas, seperti satu tahun, dua tahun, atau lebih, tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak.</p> <p>Ketika seorang pekerja memutuskan untuk mengundurkan diri sebelum masa PKWT berakhir, terdapat beberapa aspek yuridis yang harus dipertimbangkan yakni: Klausul Kontrak, Hak dan Kewajiban, Pemberitahuan, Hukum Ketenagakerjaan, Negosiasi dan Penyelesaian, Perselisihan.</p> <p><strong><em>Kata Kunci</em></strong> : Hukum ketenagakerjaan Indonesia, Kontrak kerja waktu tertentu (PKWT), Pengunduran diri pekerja sebelum PKWT berakhir.</p> Thrisya Elisabeth Ch.A Langi Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54503 Tue, 12 Dec 2023 00:00:00 +0800 FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA SUATU PERJANJIAN UTANG PIUTANG https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54552 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami dasar sebuah keadaan dikatakan sebagai <em>force majeure</em> dan untuk melakukan kajian terhadap penyelesaian perjanjian utang piutang dengan alasan keadaan memaksa atau <em>force majeure. </em>Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Secara umum, suatu keadaan dapat dianggap sebagai <em>force majeure</em> jika memenuhi beberapa kriteria, seperti bersifat absolut, tidak dapat diprediksi sebelumnya, di luar kemampuan dan kontrol seseorang, tidak dapat dihindari, dan menghalangi seseorang untuk memenuhi kewajibannya. 2. Penyelesaian utang piutang dalam keadaan <em>force majeure</em> dapat dilakukan berupa renegosiasi kontrak antara para pihak yang terlibat, restrukturisasi utang, atau pengurangan bunga. Jika penyelesaian damai tidak tercapai, maka sengketa dapat dibawa ke pengadilan dan juga jika penyelesaian utang piutang debitur meninggal dunia dan debitur memiliki ahli waris maka perjanjian utang piutangnnya akan berlanjut dan tanggungannya diberikan kepada ahli warisnya, sedangkan jika debitur tidak memiliki ahli waris maka perjanjian utang piutang tersebut telah dianggap selesai.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>force majeure</em><em>,</em><em> alasan tidak terpenuhinya suatu perjanjian utang piutang</em></p> Cicilian Tasya Pinontoan; Elko Lucky Mamesah, Grace H. Tampongangoy Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54552 Mon, 12 Feb 2024 00:00:00 +0800 PENERAPAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54553 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan anak dan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk sanksi pidana pada pelaku pencabulan anak. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Penegakan hukum pencabulan anak merupakan bentuk dari penerapan itu sendiri artinya semua bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan anak yang di gunakan dalam penegakan hukum itu sendiri adalah suatu bentuk penerapan. Secara umum penerapan hukum pencabulan anak dapat kita lihat dalam beberapa tahap yaitu : a) Proses Penyelidikan dan Penyidikan; b) Proses Pemeriksaan Anak; c) Proses Persidangan. 2.&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Sanksi bagi pelaku pencabulan anak di atur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan di antaranya adalah :&nbsp; a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; b) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak; c)&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.&nbsp; Muatan sanksi dari ketiga Undang-Undang ini pada dasarnya terdiri dari sanksi Pidana Penjara dan Sanksi Denda. Selain itu adapula sanksi moral di tengah-tengah masyarakat yang di rasakan oleh pelaku di tengah” masyarakat akibat perbuatan Amoral yang di lakukan.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>penerapan hukum, pelaku tindak pidana pencabulan anak</em></p> Angelique Talita Rantung Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54553 Mon, 12 Feb 2024 00:00:00 +0800 HAK TENAGA KERJA MAGANG DALAM MENDAPATKAN UPAH DITINJAU DARI HUKUM POSITIF DI INDONESIA https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54554 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan hukum antara tenaga kerja magang dan penyelenggara pemagangan dalam melaksanakan program magang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan untuk mengetahui perlindungan bagi tenaga kerja magang terhadap penyelenggaraan pemagangan tanpa upah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yang kemudian ditarik kesimpulan : 1. Perjanjian pemagangan sebagai salah satu komponen penting dalam pelaksanaan pemagangan, yang muatan hak dan kewajiban tenaga kerja magang dan penyelenggara, program pemagangan, jangka waktu serta besaran uang saku bagi pemagangan di dalam negeri. Dan uang saku dan transport, perlindungan bagi tenaga kerja magang, pembiayaan program magang serta penyelesaian perselisihan bagi pemagangan di luar negeri. Apabila pemagangan tidak didasari oleh perjanjian pemagangan maka pemagangan tersebut dianggap tidak sah yang berakibatkan status tenaga kerja magang berubah menjadi tenaga kerja atau buruh di perusahaan tersebut. Dan apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian pemagangan maka terjadi wanprestasi antara kedua belah pihak. 2. Upah sebagai salah satu hak tenaga kerja magang yang mana melalui regulasi yang ada telah menyebutkan secara jelas bahwa tenaga kerja magang berhak untuk mendapatkan upah, sehingga telah tergambar adanya jaminan kepastian dan perlindungan bagi tenaga kerja magang. Sebab hukum yang memiliki sifat memaksa, maka ketentuan sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus dijalankan. Selain itu dengan adanya perjanjian pemagangan memberikan perlindungan bagi tenaga kerja magang sehingga dapat terpenuhinya hak terutama mengenai upah.</p> <p>&nbsp;</p> <p><strong>Kata Kunci<em> :</em></strong><em> Pemagangan, Hak, Upah</em></p> Lady Mayleen Elisabeth Lowing Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54554 Tue, 13 Feb 2024 00:00:00 +0800 PENELANTARAN ANAK YATIM PIATU OLEH ORANG TUA ANGKAT MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54555 <p>Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami tindak pidana penelantaran anak yatim piatu oleh orang tua angkat menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak disertai sanksi bagi pelaku penelantaran dan perlindungan bagi anak yatim piatu yang diterlantarkan oleh orang tua angkat. Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif. Anak yatim piatu memiliki hak atas kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan yang layak, serta hak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Pemahaman terhadap peran hukum dalam mengatur berbagai kebutuhan dan perlindungan masyarakat masih memiliki variasi pandangan yang beragam. Membicarakan tentang masyarakat selalu berkaitan dengan keberadaan individu anak yatim piatu, yang dianggap sebagai anugerah Tuhan yang perlu dijaga dan diperhatikan oleh orang tua. Setiap anak sebenarnya adalah harta yang paling berharga, mewakili masa depan keluarga dan menjadi sumber kebanggaan bagi orang tua, baik ayah maupun ibu. Anak-anak juga merupakan generasi muda dengan potensi besar untuk meneruskan cita-cita dan aspirasi bangsa Indonesia. Hal ini merupakan kebanggaan orang tua yang tentunya memerlukan dukungan berkelanjutan yang dibangun dalam lingkungan keluarga agar pertumbuhan anak dapat berkembang dengan baik. Sejalan dengan hal tersebut diatas, negara Indonesia juga menjamin kesejahteraan seluruh warganya, termasuk perlindungan terhadap anak-anak yatim piatu. Upaya meraih cita-cita dan harapan bangsa, anak-anak yatim piatu perlu mendapatkan dukungan penuh. Namun, hak-hak dasar anak yatim piatu juga harus dihormati dan dilindungi dalam kehidupan yang layak, tanpa adanya tekanan dari pihak mana pun demi kesejahteraan mereka. Di Indonesia, perhatian terhadap perlindungan anak merupakan salah satu fokus dalam upaya pembangunan negara. Ketentuan ini tentu menjadi fokus utama negara dalam melindungi segenap warganya, terutama anak-anak yatim piatu yang diterlantarkan oleh orang tua angkat. Kemudian secara khusus dalam Undang- undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 yang telah mengalami perubahan berdasarkan Undang- undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.</p> <p>&nbsp;</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Penelantaran Anak, Anak Yatim Piatu dan Orang Tua Angkat.</p> <p><strong>&nbsp;</strong></p> Chandra Adhitya Putra Lumanauw; Christine Salomi Tooy, Rudolf Sam Mamengko Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54555 Tue, 06 Feb 2024 00:00:00 +0800 TINJAUAN YURIDIS TENTANG EKSPLOITASI PERTAMBANGAN ILEGAL DI SULAWESI UTARA https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54685 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Aturan Hukum tentang Eksploitasi Pertambangan Ilegal di Sulawesi Utara dan untuk engkaji secara Penegakan Hukum tentang Eksploitasi Pertambangan Ilegal di Sulawesi Utara. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Berbagai Peraturan yang mengatur terkait kegiatan pertambangan khususnya dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pertambangan Mineral telah memberikan kepastian hukum dalam mengatur mekanisme pelaksanaan proses kegiatan pertambangan yang baik dan benar, sehingga setiap proses pertambangan harus sesuai dengan regulasi yang eksis. 2. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pertambangan Mineral telah mengatur mekanisme penegakan hukum pertambangan yang komprehensif, baik secara preventif maupun represif. Mekanisme preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya pertambangan tanpa izin, sedangkan mekanisme represif bertujuan untuk menindak pelaku pertambangan&nbsp;tanpa&nbsp;izin.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>eksploitasi pertambangan ilegal, sulawesi utara</em></p> Ferdy Marcel Walujan Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54685 Fri, 08 Mar 2024 00:00:00 +0800 KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PENYEBARAN DATA PRIBADI MELALUI INTERNET (DOXING) DI INDONESIA https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54687 <p>&nbsp;</p> <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaturan tentang penyebaran data pribadi melalui internet (<em>doxing</em>) dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi dan untuk mengkaji penegakan hukum terhadap pelaku penyebaran data pribadi seseorang melalui internet (<em>doxing</em>) di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. &nbsp;Doxing diatur didalam UU ITE dan UU PDP, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, serta lebih spesifik lagi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. 2. Pasal 30 ayat (1) jo. Pasal 46 ayat (1) UU ITE menerapkan sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda maksimal Rp 600 juta, atas akses ilegal terhadap sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun. Sedangkan pada Pasal 30 ayat (2) jo. Pasal 46 ayat 2 UU ITE mengancam hukuman pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda maksimal Rp 700 juta atas akses ilegal terhadap komputer dan/atau sistem elektronik dengan tujuan memperoleh informasi dan/atau dokumen elektronik<strong>&nbsp; </strong>Kedua, Pasal 30 ayat (3) jo. Pasal 46 ayat (3) UU ITE mengancam hukuman pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda maksimal Rp 800 juta, atas tindakan melawan hukum melakukan penerobosan, melampaui, atau penjebolan terhadap sistem pengamanan komputer.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>tindak pidana penyebaran data pribadi melalui internet, doxing</em></p> Leonardo Latsiano Dade, Caecilia J.J Waha; Nurhikmah Nachrawy Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54687 Wed, 07 Feb 2024 00:00:00 +0800 WEWENANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENILAI PENYALAHGUNAAN WEWENANG PEJABAT TATA USAHA NEGARA https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54693 <p>Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui, mengkaji fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam rangka negara hukum Pancasila dan menganalisis fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam menilai penyalahgunaan wewenang Pejabat TUN.</p> <p>Kesimpulan yang didapat : 1. Pada dasarnya untuk mengontrol secara yuridis atau bagaimana Badan atau orang bertindak dalam menjalankan pemerintahan sesuai kewenangannya dalam menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga atau Badan hukum perdata yang dinilai melanggar ketentuan administrasi ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum, menurut nilai-nilai yang terkandung di dalam prinsip negara hukum yang berlandaskan Pancasila.</p> <p>Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai fungsi untuk menilai penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat atau Badan TUN, baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum; melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim dan Pegawai lainnya; yang merupakan kekuasaan negara di bidang kehakiman. Perwujudan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) diharapkan tidak sekedar hiasan bagi terpenuhinya unsur formal suatu negara hukum, tetapi justru demi tegaknya keadilan hukum, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, perlindungan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki hak dan kewajiban berdasarkan dengan prinsip yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila.</p> <p>Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN juga diharapkan benar-benar menjadi lembaga yang menegakkan keadilan serta pengayoman dan perlindungan untuk rakyat yang diakibatkan oleh tindakan atau perbuatan yang dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan TUN yang melakukan penyalahgunaan wewenang, baik yang melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : Penyalahgunaan Wewenang, Kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara, Kewenangan PTUN.</p> <p>&nbsp;</p> Dahlia Ririyanti Siregar Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54693 Thu, 07 Mar 2024 00:00:00 +0800 LIE DETECTOR DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DI INDONESIA https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54694 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan <em>lie detector</em> sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana Indonesia dan untuk mengetahui bagaimana urgensi <em>lie detector</em> dalam pembuktian tindak pidana di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. &nbsp;Pada Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 atau biasanya disingkat menjadi KUHAP <em>Lie Detector</em> memiliki potensi untuk menjadi alat bukti keterangan ahli dalam proses peradilan, apabila digunakan sesuai dengan metode yang valid, dan oleh ahli yang terlatih. Meskipun bukan alat bukti yang tunggal, hasil dari <em>lie detector</em> dapat memberikan pandangan tambahan kepada pengadilan dalam memahami keabsahan keterangan saksi atau terdakwa. 2. <em>Lie Detector</em> adalah alat yang dapat digunakan untuk mengukur respons fisiologis. Penggunaan alat ini dalam konteks penyidikan tindak pidana memiliki beberapa alasan urgensi yang perlu dipertimbangkan. Salah satu alasan utama adalah bahwa <em>lie detector</em> dapat menjadi alat bantu penyelidikan, penyidik seringkali harus menghadapi situasi di mana saksi atau tersangka berpotensi untuk memberikan informasi yang tidak jujur. Dalam situasi seperti ini, penggunaan <em>lie detector</em> dapat membantu penyidik dalam mengidentifikasikan potensi kebohongan.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>pembuktian tindak pidana, lie detector</em></p> Claudea Jaden Gil Jocom; Herlyanty Y. A. Bawole Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54694 Thu, 07 Mar 2024 00:00:00 +0800 PENEGAKAN HUKUM BAGI KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN BUKTI PEMBAYARAN PAJAK https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54743 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami terjadinya pemalsuan bukti pembayaran pajak dan Untuk mengetahui penegakan hukum bagi korporasi yang melakukan tindak pidana pemalsuan bukti pembayaran pajak. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Terjadinya pemalsuan bukti pembayaran pajak, memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. 2. Penegakan hukum bagi korporasi yang melakukan tindak pidana pemalsuan bukti pembayaran pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>korporasi, pemalsuan bukti pembayaran pajak</em></p> Jordan Sampriano Dalano Mamole; Rafly Singal; Grace Bawole Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54743 Wed, 06 Mar 2024 00:00:00 +0800 WEWENANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENILAI PENYALAHGUNAAN WEWENANG PEJABAT TATA USAHA NEGARA https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54744 <p>Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui, mengkaji fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam rangka negara hukum Pancasila dan menganalisis fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam menilai penyalahgunaan wewenang Pejabat TUN.<a href="#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a>,</p> <p>Kesimpulan yang didapat : 1. Pada dasarnya untuk mengontrol secara yuridis atau bagaimana Badan atau orang bertindak dalam menjalankan pemerintahan sesuai kewenangannya dalam menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga atau Badan hukum perdata yang dinilai melanggar ketentuan administrasi ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum, menurut nilai-nilai yang terkandung di dalam prinsip negara hukum yang berlandaskan Pancasila.</p> <p>Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai fungsi untuk menilai penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat atau Badan TUN, baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum; melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim dan Pegawai lainnya; yang merupakan kekuasaan negara di bidang kehakiman. Perwujudan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) diharapkan tidak sekedar hiasan bagi terpenuhinya unsur formal suatu negara hukum, tetapi justru demi tegaknya keadilan hukum, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, perlindungan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki hak dan kewajiban berdasarkan dengan prinsip yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila.</p> <p>Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN juga diharapkan benar-benar menjadi lembaga yang menegakkan keadilan serta pengayoman dan perlindungan untuk rakyat yang diakibatkan oleh tindakan atau perbuatan yang dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan TUN yang melakukan penyalahgunaan wewenang, baik yang melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : Penyalahgunaan Wewenang, Kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara, Kewenangan PTUN.</p> <p>&nbsp;</p> <p>&nbsp;</p> Dahlia Ririyanti Siregar Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54744 Wed, 06 Mar 2024 00:00:00 +0800 PENERAPAN SANKSI ATAS PELANGGARAN KODE ETIK APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) BERDASARKAN PERATURAN BUPATI MINAHASA TENGGARA NOMOR 47 TAHUN 2019 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54745 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui terkait Pengaturan Hukum Penerapan Sanksi Kode Etik Aparatur Sipil Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 dan untuk mengetahui tentang Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran Kode Etik Aparatur Sipil Negara Berdasarkan Peraturan Bupati Minahasa Tenggara Nomor 47 Tahun 2019. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pengaturan hukum kode etik Aparatur Sipil Negara berdasarkan UU ASN menunjukan bahwa: <em>Pertama, </em>Kode etik ASN; <em>Kedua, </em>Pengaturan Kode Etik ASN berfokus untuk mengatur pola perilaku ASN sesuai dengan nilai-nilai yang baik menurut hukum sehingga wajib untuk dilaksanakan dan memiliki sanksi apabila dilanggar; dan <em>Ketiga, </em>Pengaturan tentang kode etik profesi ASN tidak hanya diatur melalui UU ASN melainkan juga aturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Bupati yang didasarkan pada lingkungan kerjanya. 2. Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran Kode Etik berdasarkan Peraturan Bupati Minahasa Tenggara menunjukan bahwa: <em>Pertama, </em>Perkembangan substansi hukum kode etik dalam Perbup telah dimanifestasikan ke dalam Perbup yang terbaru yaitu Perbup No. 47 Tahun 2019; <em>Kedua, </em>Pengaturan Kode Etik menurut Perbup Minahasa Tenggara mencakup nilai-nilai profesionalisme, integritas dan akuntabilitas yang diwujudkan melalui perilaku-perilaku yang baik dan benar menurut hukum; <em>Ketiga, </em>Sanksi pelanggaran kode etik profesi ASN Mitra didasarkan pada perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya dan melanggar hal yang dilarangan dalam perbup tersebut; dan <em>Keempat, </em>Contoh kasus penerapan sanksi pelanggaran kode etik ASN Mitra berdasarkan hasil wawancara menunjukan adanya ketidakpatuhan oknum ASN di UPT Puskesmas Silian Raya, dijatuhkan sanksi yang setimpal sesuai dengan perbuatan tersebut.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>sanksi, kode etik, Minahasa tenggara</em></p> Stivanly Richard Tompoliu Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54745 Tue, 05 Mar 2024 00:00:00 +0800 KETENTUAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL1 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54746 <p>Pasar modal bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas ekonomi nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pasar modal mempunyai peranan strategis sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha, termasuk usaha menengah dan kecil untuk pembangunan usahanya, sedangkan disisi lain pasar modal juga merupakan wahana investasi bagi masyarakat termasuk pemodal menengah dan kecil. Pasar modal adalah tempat dimana pihak yang memiliki kelebihan modal (investor) dapat berinvestasi dalam perdagangan efek dan menarik pihak yang membutuhkan tambahan modal. Kegiatan utama di pasar modal yakni perdagangan efek. (Otoritas Jasa Keuangan) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) diterbitkan sebagai rangka menciptakan iklim pasar modal yang baik dikarenakan pada saat itu sedang mengalami krisis moneter yang tinggi. UU ini memberi pengaturan prinsip keterbukaan. Mengacu terhadap prinsip ini, industri yang melaksanakan penawaran umum ataupun yang terpenuhi syarat merupakan industri publik guna melakukan penyampaian informasi terkait kondisi bisnisnya, baik dari sisi finansial, produksi, manajemen, dan terkait aktivitas bisnisnya terhadap warga. Dalam praktiknya, kegiatan yang dilakukan di pasar modal melibatkan berbagai pihak yang secara umum bertujuan untuk mencari keuntungan. Dalam konsep yang demikian bukan berarti para pihak bebas memanfaatkan berbagai keadaan demi tujuannya di pasar modal termasuk melakukan kecurangan atau pelanggaran. Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, mengatur mengenai pemberlakuan ketentuan pidana sebagaimana dinyatakan pada pasal 103 sampai dengan pasal 110.</p> <p>Kata Kunci : Ketentuan Pidana Berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.</p> Roma William Samuel Keintjem Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54746 Wed, 06 Mar 2024 00:00:00 +0800 PENETAPAN BATAS WILAYAH LAUT ZONA EKONOMI EKSKLUSIF (ZEE) ANTAR NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54766 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji penetapan batas wilayah ZEE dalam hukum Internasional dan untuk mengetahui dan mengkaji penyelesaian sengketa penetapan batas wilayah Laut dalam hukum Internasional. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Zona Ekonomi Ekslusif dapat ditinjau dari <em>UNCLOS </em>pasal 55 yang berbunyi: Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini.Apabila terjadi sengketa pada Zona Ekonomi Ekslusif antara dua negara atau lebih maka sengketa itu harus diselesaikan berdasarkan keadilan dan dengan pertimbangan segala keadaan yang relevan, dengan memperhatikan masing-masing keutamaan kepentingan yang terlibat bagi para pihak maupun bagi masyarakat internasional sebagaimana diatur dalam pasal 59 UNCLOS. 2. Berdasarkan acuan hukum internasional yang kemudian diratifikasi menjadi hukum nasonal sehingga menjadi acuan dalam penerpan hukum perbatasan atau Zona Ekonomi Eksklusif. Berikut beberpa ketentuan hukum positif&nbsp; Peraturan hukum laut nasional yang dikeluarkan sejak zaman belanda hingga sekarang, Ordanasi laut teritorial dan lingkungan maritim, 1939 (Territorial Zee en Maritime Kringe Ordonantine 1939), deklarasi Djuanda tahun 1957,c. UU Nomor 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, UU nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif, UU Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik pangkal.</p> <p>Kata Kunci : <em>UNCLOS, ZEE</em></p> Nadia Regina Kapang; Imelda Amelia Tangkere, Decky Paseki Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54766 Wed, 06 Mar 2024 00:00:00 +0800 SANKSI HUKUM PENCURIAN IKAN OLEH NELAYAN ASING DI WILAYAH PERAIRAN RI MENURUT KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) TENTANG HUKUM LAUT 1982 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54767 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami peraturan hukum oleh hasil Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang nelayan asing yang berada di wilayah laut territorial Indonesia dan untuk mengetahui dan memahami upaya Hukum Laut Internasional dalam mengatasi nelayan asing yang melakukan pencurian ikan <em>(Illegal Fishing). </em>Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pencurian ikan (<em>illegal fishing</em>) oleh nelayan asing sangat mengancam keamanan perairan Indonesia, dan sudah melanggar hukum internasional dan hukum nasional Indonesia. Ketika ada nelayan yang melakukan pelanggaran atau kejahatan di wilayah laut Indonesia dan Negara dapat menjatuhkan hukuman kepada pelaku pencurian ikan tersebut, salah satu contohnya dengan menjatuhkan pidana dan sanksi denda kepada kapal asing yang melanggar ketentuan-ketentuan nasional sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang no. 45 tahun 2009 tentang perikanan dan dalam pasal 73 ayat (1) <em>UNCLOS</em> 1982.&nbsp; 2. Dalam pasal 73 ayat (4) <em>UNCLOS </em>Ketika terjadi penangkapan atau penahanan kapal asing, negara pantai harus segera memberitahu secara resmi kepada Negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai setiap hukuman yang dijatuhkan. Berkaitan dengan pencurian ikan maka pemerintah melakukan perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 2004 menjadi Undang-undang nomor 45 tahun 2009.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>pencurian ikan, wilayah perairan RI</em></p> Julia Rachel Waleleng Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54767 Wed, 10 Jan 2024 00:00:00 +0800 PENGATURAN TANAH GUNTAI DAN HAK KEPEMILIKAN TANAH DI SULAWESI UTARA DAN AKIBAT HUKUMNYA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54772 <p>Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui dan memahami bagaimana pengaturan perundang-undangan tentang tanah guntai (<em>absentee</em>) dan untuk mengetahui dan memahami akibat hukum kepemilikkan tanah guntai (<em>absentee</em>). Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pengaturan perundang-undangan tentang tanah guntai sudah cukup baik mengatur larangan kepemilikan tanah pertanian secara guntai. Pengaturan tersebut dimaksudkan agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah pertanian sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat petani yang tinggal di daerah tersebut, bukan dinikmati oleh masyarakat luar yang bukan petanidan tidak tinggal di daerah tersebut yang hanya untuk kepentingan sebagai asset/investasu di kemudian hari. 2. Akibat hukum bagi pemilik tanah secara guntai/<em>absentee</em> dalam perspektif hukum, apabila seseorang ketahuan memiliki kelebihan tanah (absentee) maka tanah tersebut harus dilepaskan dan sanksi yang akan dikenakan jika kewajiban diatas tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap sesuai yang diterangkan diatas maka tanah yang bersangkutan akan diambil oleh pemerintah untuk kemudian didistribusikan dalam rangka landreform, dan kepada bekas pemiliknya diberikan ganti kerugian sesuai dengan peraturan yang berlaku bagi para bekas pemilik tanah tersebut.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>pengaturan tanah guntai, sulawesi utara</em></p> Ernichel S. G. Pinontoan, Harly S. Muaja; carlo A Gerungan Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54772 Mon, 04 Mar 2024 00:00:00 +0800 PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP WANPRESTASI DEVELOPER DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI KREDIT PEMILIKAN RUMAH PADA BISNIS PROPERTI https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54776 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui Pengaturan Perlindungan Hukum Konsumen terhadap wanprestasi developer dalam perjanjian pengikatan jual beli kredit pemilikan rumah pada bisnis properti Mengkaji Upaya Hukum yang ditempuh oleh Konsumen pada terhadap wanprestasi developer dalam perjanjian pengikatan jual beli kredit pemilikan rumah pada bisnis properti. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yang kemudian ditarik kesimpulan : 1. Bahwa Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin dan melindungi hak-hak konsumen yang melakukan mengadakan Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dengan developer dalam bisnis properti perumahan. 2. Bahwa developer dapat dimintai tanggung jawab hukum wanprestasi (breach of warranty) oleh konsumen melalui proses non-litigasi maupun litigasi untuk memulihkan hak daripada konsumen yang dicederai.<br>Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Wanprestasi, Konsumen, Developer, Perjanjian.</p> Jovano Abraham Alfredo Apituley Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54776 Mon, 04 Mar 2024 00:00:00 +0800 TINJAUAN YURIDIS PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA BERDASARKAN PERMENDAGRI NOMOR 67 TAHUN 2017 DI DESA TANDENGAN SATU KABUPATEN MINAHASA https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54777 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana pengaturan pemberhentian perangkat desa menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan untuk mengetahui dan memahami bagaimana implementasi mengenai pemberhentian perangkat desa di Desa Tandengan Satu. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pemberhentian Perangkat Desa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa. Pemberhentian harus dilakukan sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan, dan tidak boleh dilakukan secara sepihak atau tanpa alasan yang kuat. 2. Implementasi Pemberhentian Perangkat Desa di Desa Tandengan Satu, Kecamatan Eris dalam hal Pasal 5 ayat (1) tentang berkonsultasi dengan camat terkait pemberhentian Perangkat Desa Kepala Desa telah melakukan hal tersebut. Namun berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan maka berdasarkan wawancara tersebut disimpulkan bahwa Kepala Desa memberhentikan Perangkat Desa hanya berdasarkan karena Perangkat Desa sudah tidak sinegritas lagi dengan Kepala Desa, maka pemberhentian yang dilakukan tidak berdasarkan karena terjadi pelanggaran atas larangan-larangan yang tertulis pada Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 tahun 2017.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>pemberhentian perangkat desa, desa tandengan satu kabupaten minahasa</em></p> Kezia Trivena Gosal; Toar Neman Palilingan, Josepus J. Pinori Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54777 Fri, 01 Mar 2024 00:00:00 +0800 PENEGAKAN HUKUM MAIN HAKIM SENDIRI (EIGENRICHTING) STUDI KASUS TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DAN PEMBAKARAN TERHADAP SEORANG WANITA DI KOTA SORONG https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54778 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui landasan yuridis atau penegakan hukum terhadap tindakan main hakim sendiri berdasarkan hukum positif yang berlaku dan untuk mengetahui terkait penerapan sanksi hukum tindak pidana main hakim sendiri berdasarkan dalam Putusan PN Sorong No. 59/PID.B/PN SON. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 menegaskan Indonesia sebagai negara hukum, di mana segala aspek kehidupan diatur oleh aturan hukum. Meskipun istilah :Main Hakim Sendiri: tidak secara eksplisit diakui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), beberapa pasal, seperti Pasal 351 tentang :penganiayaan:, dapat dikaitkan dengan tindakan sewenang-wenang masyarakat terhadap individu yang dianggap bersalah dan Pasal 170 KUHP mengatur tentang hukuman terhadap kekerasan bersama-sama di muka umum, dengan peningkatan hukuman sesuai dengan konsekuensinya, termasuk ketika tindakan tersebut mengakibatkan korban jiwa. Dengan demikian, tindakan main hakim sendiri, meskipun mungkin dipicu oleh respons terhadap kejahatan, seharusnya tidak diterima secara hukum, dan para pelakunya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 2. Putusan Pengadilan Sorong Nomor 59/PID.B/2023/PN SON terhadap para pelaku menetapkan hukuman, namun terdapat perbedaan dalam tingkat keberatan hukuman antara kedua kasus tersebut. Penjatuhan sanksi hukum pidana terhadap tindakan main hakim sendiri perlu diperhatikan dan ditinjau dengan seksama, mengingat sanksi yang diberikan kepada para pelaku terkesan ringan dan mungkin tidak mencerminkan beratnya tindakan kekerasan yang dilakukan.</p> <p>Kata Kunci : <em>Eigenrichting</em><em>, </em><em>Penganiayaan</em><em>, </em><em>Pembakaran</em></p> Joshua Anugerah Rasubala; Victor Kasenda Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54778 Tue, 05 Mar 2024 00:00:00 +0800 PERANAN ORGANISASI INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) TERHADAP PENGGUNAAN NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54805 <p>Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana peran International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam mengawasi penggunaan nuklir untuk tujuan damai. Krisis energi global mendorong pengembangan energi nuklir sebagai alternatif untuk mengatasi ketergantungan pada sumber daya energi terbatas. Meskipun dianggap efisien dan efektif, energi nuklir memiliki sejarah kontroversial dan menimbulkan risiko besar bagi manusia dan lingkungan jika tidak dikelola dengan hati-hati. International Atomic Energy Agency (IAEA) terbentuk setelah pidato "Atom for Peace" oleh Presiden AS Dwight Eisenhower pada 1953, dengan tujuan untuk mengembangkan dan mengawasi penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu peranan organisasi International Atomic Energy Agency (IAEA) terhadap penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai.metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Yuridis Normatif. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa International Atomic Energy Agency (IAEA) berperan dalam mempercepat pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai dan mengawasi agar tidak disalahgunakan untuk tujuan militer, sesuai dengan Statuta IAEA Pasal II dan III, serta NPT Artikel III Ayat 1-3. IAEA memiliki kewenangan administratif atas negara-negara yang melanggar ketentuan tersebut, meskipun tidak bersifat yurisdiksi. Resolusi 1696, 1737, 1747, dan 1929 dari DK PBB mengatur penghentian pengembangan tenaga nuklir, dengan kewenangan jurisdiksi, tetapi lebaih bersifat teknis daripada memberikan sanksi atau Resolusi dalam NPT.<br>Kata Kunci: Peran, International Atomic Energy Agency (IAEA), Nuklir</p> TIMOTHY JUNIVER SAMBUAGA; Caecilia Waha, Stefan Voges Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54805 Thu, 07 Mar 2024 00:00:00 +0800 KAJIAN HUKUM SENGKETA LAUT CHINA SELATAN BAGI INDONESIA PASCA KEPUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL TAHUN 2016 MENURUT HUKUM INTERNASIONAL https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54806 <p>Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kasus sengketa laut China Selatan dan pengaturan penyelesaian sengketa internasional dari perspektif Hukum Internasional dan untuk Menjelaskan keputusan Arbitrase Internasional mengenai konflik Laut China Selatan bagi kawasan dan Indonesia menurut Hukum Internasional. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Filipina memilih <em>Permanent Court of Arbitration </em>yang merupakan bagian dari Mahkamah Arbitrase sebagai untuk menyelesaikan sengketa dengan China. Menurut pengamatan penulis alasan Filipina memilih badan ini dalam penyelesaian konflik yaitu kerena badan ini menerapkan pasal 9 Lampiran UNCLOS 1982. Pada 2016 <em>Permanent Court of Arbitration </em>(PCA) sudah memutuskan bahwa klaim China soal <em>Nine Dash Line </em>tidak memiliki dasar hukum yang kuat, putusan ini menegaskan bahwa klaim China atas fitur-fitur yang ada di wilayah Laut China Selatan tidak dapat dibenarkan dalam Hukum Internasional. 2. Penolakan China terhadap Putusan ini juga tentu berdampak bagi Indonesia. Dengan putusan tersebut Indonesia bisa memperkuat argumen mengenai kedaulatan Indonesia atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan dapat memberikan kepastian hukum bagi Indonesia dalam memanfaatkan sumber daya yang ada di wilayah ZEE Indonesia.Indonesia juga sebagai negara yang menganut politik luar negara bebas aktif juga mendukung penegakkan hukum atas konflik di Laut China Selatan, Indonesia juga aktif dalam mendorong adanya diplomasi dalam menyelesaikan konflik .</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>sengketa laut china selatan, arbitrase internasional</em></p> Jonathan Hizkia; Emma Senewe, Natalia Lana Lengkong Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54806 Tue, 05 Mar 2024 00:00:00 +0800 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54807 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji bentuk-bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, sehingga melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan untuk mengetahui dan mengkaji pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dan bentuk-bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Bentuk-bentuk tindak pidana melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, sebagaimana dinyatakan dalam diantaranya Pasal 90. Nakhoda yang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau Barang sebelum memperoleh persetujuan Karantina Kesehatan berdasarkan hasil pengawasan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Pasal 91. Kapten Penerbang yang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau Barang sebelum memperoleh Persetujuan Karantina Kesehatan berdasarkan hasit pengawasan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. 2. Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi atau pengurusnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, menyatakan dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>korporasi </em><em>&nbsp;</em><em>tentang kekarantinaan kesehatan</em></p> Jonathan Rexford Onibala Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54807 Thu, 07 Mar 2024 00:00:00 +0800 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN GAS AIR MATA DALAM PENERTIBAN KERUSUSHAN BERDASARKAN PRINSIP HAK ASASI MANUSIA (HAM) https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54808 <p>Gas air mata adalah senjata kimia sebagai mana yang di jelaskan dalam Pasal 7 Peraturan KAPOLRI Nomor 1 Tahun 2009 yang menyatakan senjata kimia anatara lain gas airmata atau semrpotan cabe. Senjata kimia adalah senjata yang memanfaatkan sifat racun senyawa kimia untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Penggunaan senjata kimia berbeda dengan senjata konvensional dan senjata nuklir karena efek merusak senjata kimia terutama bukan disebabkan daya ledaknya. Senjata kimia tetap dipakai bahkan dalam peperangan telah mengakibatkan korban lebih dari seratus ribu orang meninggal dan sekitar satu juta orang cidera. Keadaan tersebut sangat memprihatinkan masyarakat internasional, sehingga kemudian tercapai protocol for the the Prohibitation of the Use in War of Asphyxiating, poisonous or other Gases, and of Bacteriologiccal Methods of Warfare (Protokol Pelarangan Penggunaan dalam Perang Gas Penyesak Pernapasan, Gas Beracun atau Gas lainya, dan tentang metode perperangan dengan menggunakan bakteri), yang ditandatangani pada tanggal 17 Juni 1925, selanjutnya disebut protokol Jenewa pada tahun 1925. Gas air mata adalah senjata kimia yang berupa gas dan digunakan untuk perang juga paparan terhadap gas air mata dapat menyebabkan jangka pendek dan panjang, termasuk pengembangan penyakit pernapasan, luka dan penyakit mata parah (keratitis, glaukoma, dan katarak), radang kulit, kerusakan pada sistem peredaran darah dan pencernaan, bahkan kematian, khususnya pada kasus dengan paparan tinggi. Dampakdampak tersebut bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Pengaturan senjata gas airmata secara internasional tidak diatur secara khusus dalam sebuah perjanjian global yang mandiri. Namun, penggunaan senjata gas airmata tercakup dalam kerangka hukum yang lebih luas terkait penggunaan kekerasan dan perlindungan hak asasi manusia. Kata Kunci: Gas Air Mata, Senjata Kimia, Hak Asasi Manusia (HAM)&nbsp;</p> Immanuel Ray Shevcencko Rumayar Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54808 Thu, 07 Mar 2024 00:00:00 +0800 TINJAUAN YURIDIS KETENTUAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54809 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana ketentuan pidana terhadap anggota badan pemeriksa keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006&nbsp; tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana tindakan kepolisian terhadap anggota badan pemeriksa keungan yang melakukan tindak pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Ketentuan Pidana Terhadap Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Hal ini mengnunjukkan apabila ada nggota BPK yang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang, maka dapat dikenakan pidana penjara atau denda dan jika ada anggota BPK yang mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi dan/atau dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas BPK dengan melampaui batas wewenangnya juga dapat dipidana dengan pidana penjara atau pidana denda. 2. Tindakan Kepolisian Terhadap Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Yang Melakukan Tindak Pidana. Hal ini menunjukan bahwa tindakan kepolisian yang dapat dilakukan terhadap anggota BPK yang melakukan suatu tindak pidana diatur dalam UU BPK Nomor 15 Tahun 2006 dalam Bab V tentang Tindakan KepolisianDan Anggota BPK dapat dikenakan tindakan kepolisian tanpa menunggu perintah jaksa agung atau persetujuan tertulis presiden, dan apabila tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana, disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>ketentuan pidana</em><em>, </em><em>anggota </em><em>BPK</em></p> <h1>&nbsp;</h1> Marcellino Pelealu Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54809 Thu, 07 Mar 2024 00:00:00 +0800 TUGAS DAN WEWENANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM PENYELESAIAN DAN PENANGANAN BANK GAGAL https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54816 <p>Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana tugas dan wewenang lembaga penjamin simpanan melakukan penyelesaian dan penanganan bank gagal dan bagaimana mekanisme penyelesaian dan penanganan bank gagal. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. &nbsp;Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan dan merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (<em>bank resolution</em>) yang tidak berdampak sistemik; dan melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. LPS bersama dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) merumuskan kebijakan penyelesaian Bank Gagal. 2. Mekanisme penyelesaian dan penanganan bank gagal, LPS menerima pemberitahuan dari LPP mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. LPS melakukan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik setelah LPP atau Komite Koordinasi menyerahkan penyelesaiannya kepada LPS.</p> <p><strong>Kata kunci</strong>: Tugas Dan Wewenang, Lembaga Penjamin Simpanan, Penyelesaian Dan Penanganan Bank Gagal</p> Alif Lutfi Perambahan Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54816 Thu, 07 Mar 2024 00:00:00 +0800 SUATU TINJAUAN TERHADAP MASALAH DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54817 <p>Tujuan penelitian dari skripsi ini adalah untuk mengetahui <a name="_Toc133767291"></a><a name="_Toc135655178"></a><a name="_Toc135655354"></a>dan mengkaji kaidah-kaidah normatif dari bentuk suatu kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa melalui Arbitrase, kemudian mengkaji penyelesaian suatu sengketa dalam bidang perdagangan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, antara pihak asing dengan warga Indonesia. Dengan mengikuti kaidah-kaidah serta asas-asas yang telah termuat dalam pedoman atau melakukan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci :<em> Arbitrase , Putusan Arbitrase Internasional, Perdagangan, World Trade Organization.</em></p> FIGO KALVIN POPATO Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54817 Tue, 05 Mar 2024 00:00:00 +0800 FUNGSI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PENGAWASAN ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH DI KOTA MANADO https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54818 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Pengawasan APBD menurut undang undang Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan untuk mengetahui bentuk pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah di kota Manado. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. DPRD menjadi alat kontrol bagi jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai fungsinya sebagai lembaga pengawasan politik yang kedudukannya sederajat dengan pemerintah setempat, maka DPRD juga diberi hak untuk melakukan amandemen. Bahkan DPRD juga diberi hak untuk mengambil inisiatif sendiri guna merancang dan mengajukan rancangan sendiri kepada pemerintah sesuai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. 2. Adapun bentuk pengawasan DPRD terhadap APBD yang telah disetujui tersebut diatas akan melakukan supervise/ pengawasan terhadap Peraturan Daerah untuk mengetahui sebelum dan sesudah rancangan perda, dan proses yang melalui kajian legislasi. Secara sinkron sebagai lembaga legislatif DPRD juga berhak untuk mengajukan produk terkait rancangan atau perubahan peraturan daerah. Dalam hal ini, DPRD Kota Manado bisa mengajukan usulan atau perubahan kebijakan peraturan daerah.</p> <p><strong>Kata Kunci</strong> : <em>DPRD, pengawasan anggaran, Kota Manado</em></p> Veren Anggreyni Mengko Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54818 Tue, 05 Mar 2024 00:00:00 +0800 TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PIALANG TERHADAP HILANGNYA ASET NASABAH DALAM INVESTASI ONLINE DI INDONESIA https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54819 <p>Penulisan jurnal ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan mengenai tanggung jawab hukum perusahaan pialang berjangka pada para nasabahnya. Jurnal ini menerapkan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang didasari pendekatan bahan hukum, secara primer maupun sekunder. &nbsp;Perusahaan pialang atau Broker Anggota Bursa didefinisikan sebagai bagian yang mengakomodasi investor dalam bertransaksi efek di bursa. Perusahaan pialang di lantai bursa, mengadakan kegiatan transaksi dengan melakukan pembelian, serta penjualan efek atas order investor. Perusahaan pialang dengan demikian, hanya dapat bertransaksi apabila investor telah memberikan instruksi. Konsep pertanggungjawaban hukum pada dasarnya terkait, namun tidak identik dengan konsep kewajiban hukum. Perusahaan Pialang Berjangka selaku badan hukum mempunyai tanggung jawab terbatas menurut hukumnya, manakala dilakukan perbuatan untuk, dan atas nama perseroan, maka dipandang perbuatan tersebut dilakukan oleh perseroan itu sendiri, bukan oleh orang-orang yang menjalankan perbuatan bersangkutan. Hal ini berarti, bahwa selama pengurus perusahaan Pialang Berjangka menjalankan tugas untuk, dan atas nama perusahaan, maka tanggung jawab dibebankan kepada perusahaan Pialang Berjangka tersebut. Sebagai badan hukum, perusahaan Pialang Berjangka adalah subjek hukum, sekali pun bukan berupa orang, namun dianggap mempunyai suatu harta kekayaan sendiri terpisah dari para anggotanya, dan merupakan pendukung hak dan kewajiban, seperti seorang manusia. Hal ini berarti, badan hukum mempunyai hak-hak, maupun kewajiban, dan dapat turut serta dalam lalu lintas hukum. Selaku badan hukum, berarti merupakan subjek hukum pendukung hak dan kewajiban dalam hukum, sehingga dapat bertindak sebagai penggugat, maupun tergugat yang dibebani tanggung jawab.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata kunci: Tanggung Jawab Perusahaan Pialang Terhadap Hilangnya Aset Nasabah Dalam Investasi <em>Online</em> Di Indonesia</p> Josua Nicolas Kaunang Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54819 Fri, 08 Mar 2024 00:00:00 +0800 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERTAMBANGAN EMAS ILEGAL YANG BERDAMPAK KERUGIAN DI WILAYAH RATATOTOK https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54821 <p>Penegakan hukum terhadap pertambangan emas ilegal yang perdampak kerugian di wilayah Ratatotok tentang adanya suatu pelanggaran terhadap ketentuan hukum di lingkungan pertambangan di wilayah Ratatotok. Fokus penelitian meliputi analisis terperinci terkait jenis-jenis pelanggaran, prosedur penegakan hukum, serta kendala dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap oknum penambang illegal. Metodologi penelitian menggunakan pendekatan empris normatif. Temuan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam terkait proses penegakan hukum dalam lingkungan pertambangan emas ilegal serta guna menambah pengetahuan dalam lingkup pertambangan emas di Indonesia.</p> <p>&nbsp;</p> <p>&nbsp;</p> <p><strong><em>Kata</em></strong><strong><em>&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; kunci&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; </em></strong><em>:</em><em>&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Penegakan&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Hukum</em><em>, Pertambangan Emas Ilegal, Kerugian di Wilayah Ratatotok .</em></p> Gebby Esther Umboh, Olga Anatje Pangkerego; Cobi E. M. Mamahit Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54821 Wed, 06 Mar 2024 00:00:00 +0800 TINJAUAN HUKUM MENGENAI WANPRESTASI TERHADAP PERJANJIAN BAGI HASIL ANTARA PEMILIK TANAH DAN PENGGARAP https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54830 <p>Penduduk Indonesia yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani mengakibatkan banyak orang yang ingin bercocok tanam tetapi tanpa modal pertanian yang diperlukan. Akibatnya, kesepakatan bagi hasil dibuat antara pemilik tanah dan petani penggarap. Petani mengadakan pengaturan bagi hasil ini dengan tujuan untuk saling membantu terlepas dari keuntungan yang akan diperoleh di awal. Di Indonesia, tanah sangat penting karena sebagian besar negara adalah negara agraris, dengan mayoritas penduduk mengandalkan tanah pertanian untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan, yang sebagian besar adalah petani, hal ini benar adanya. Karena semakin banyaknya masyarakat yang membutuhkan tanah untuk tempat tinggal, maka arti pentingnya tanah menjadi semakin signifikan.<sup>3</sup> Perjanjian Bagi Hasil tanah pertanian merupakan perbuatan hubungan hukum yang diatur dalam hukum Perdata. Perjanjian Bagi Hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dari orang lain yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian dimana penggarap diperkenankan mengusahakan tanah yang bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap dan yang berhak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci: Penduduk, Petani, Perjanjian Bagi Hasil</p> Armando Rosario Gabriel Pandeinuwu; Merry Elisabeth Kalalo, Victor Kasenda Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54830 Mon, 04 Mar 2024 00:00:00 +0800 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA PADA PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) YANG DI BERHENTIKAN SEBELUM WAKTUNYA1 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54841 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis perlindungan hukum bagi pekerja PKWT yang diberhentikan sebelum waktunya dan untuk mengkaji dan menganalisis pemenuhan hak pekerja PKWT yang diberhentikan sebelum waktunya. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Perlindungan bagi pekerja/buruh adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perlindungan terhadap hak-hak dasar setiap warga negara. Perlindungan hukum pada hakekatnya selalu berkaitan dengan kekuasaan pemerintah serta kekuasaan ekonomi. Berkaitan dengan perlindungan terhadap pekerja dengan status PKWT, pemerintah telah memberikan jaminan perlindungan hukum baik secara preventif dan represif, baik melalui peraturan perundang-undangan serta pengawasan. Dengan hadirnya undang-undang ketenagakerjaan, undang-undang ciptakerja serta aturan turunan dibawahnya adalah wujud dari impelementasiperlindungan terhadap hak-hak dasar setiap pekerja/buruh yang berorientasi pada perkembangan zaman.&nbsp;2. Pemenuhan hak-hak dasar setiap pekerja/buruh merupakan kewajiban majikan/pemberi kerja serta memerlukan peran pemerintah untuk mengawal hal tersebut dalam bentuk regulasi dan pengawasan. Pemenuhan hak pekerja PKWT yang diberhentikan sebelum waktunya telah dijamin dan dilindungi oleh pemerintah. Hal ini didasari pada ketentuan pasal (61 a) Undang-undang Cipta Kerja dan ketentuan pasal (15), (16) dan (17) peraturan pemerintah No 35 Tahun 2021 tentang pemberian kompensasi terhadap pekerja dengan status PKWT.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci : <em>pekerja pada perjanjian kerja waktu tertentu</em></p> Equino Mikael Makadolang, Ronny A. Maramis; Lendy Siar Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54841 Tue, 05 Mar 2024 00:00:00 +0800 NOODWEER EXCES SEBAGAI SALAH SATU ALASAN PENIADAAN PIDANA https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54842 <p>Pembunuhan merupakan salah satu perbuatan yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan diancam dengan pidana, sehingga menjadi suatu tindak pidana. Pembunuhan diatur &nbsp;dalam Pasal 338 KUHP. yang menurut terjemahan R. Soesilo berbunyi, “barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Pembunuhan atau makar mati ini dalam teks bahasa Belanda dari KUHP disebut sebagai “<em>doodslag</em>”.&nbsp; Pembunuhan menjadi salah satu kejahatan terhadap nyawa selain kejahatan lainnya terhadap nyawa seperti pembunuhan berencana (<em>moord</em>) yang dirumuskan dalam Pasal 340 KUHP.&nbsp; Tetapi yang menjadi perhatian di sini yaitu pembunuhan (<em>doodslag</em>) sebagaimana yang drumuskan dalam Pasal 338 KUHP. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (<em>noodweer exces</em>) yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP memiliki kaitan erat dengan pembelaan terpaksa (<em>noodweer</em>) yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP.&nbsp; Oleh karena itu, pembahasan <em>noodweer exces</em> tidak dapat dilepaskan dari pembahasan <em>noodweer</em>, sehingga perlu diketahui bunyi selengkapnya dari Pasal 49 KUHP. Alasan penghapus pidana yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP dikenal dalam bahasa Belanda dikenal sebagai “<em>noodweer exces</em>”, atau “<em>noodweer ekses</em>”, yang biasanya diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai “pembelaan terpaksa yang melampaui batas”; sekalipun ada juga yang menerjemahkannya secara lain, seperti Teguh Prasetyo yang menerjemahkan <em>noodweer exces</em> sebagai “pelampauan batas pembelaan darurat”, sedangkan <em>noodweer</em> diterjemahkannya sebagai “pembelaan darurat”. Penerjemah yang juga menerjemahkan <em>noodweer</em> sebagai pembelaan darurat yaitu R. Soesilo. Tetapi dalam tulisan ini akan digunakan istilah pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau <em>noodweer exces </em>sebagai istilah-istilah yang lebih umum digunakan.</p> <p>&nbsp;</p> <p>Kata Kunci: <em>Noodweer Exces </em>Sebagai Salah Satu Alasan Peniadaan Pidana</p> Reza Timothy Dengah Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54842 Mon, 04 Mar 2024 00:00:00 +0800 TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN HAK SUARA DALAM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54856 <p>Penyalahgunaan hak suara dalam pemilihan umum merupakan salah satu bentuk pelanggaran serius terhadap demokrasi dan integritas proses pemilihan umum. Indonesia, sebagai negara demokratis yang besar, tidak luput dari tantangan terkait tindak pidana semacam ini. Tulisan ini membahas secara ringkas fenomena tindak pidana penyalahgunaan hak suara dalam konteks pemilihan umum di Indonesia. Berfokus pada analisis hukum dan konteks sosial, artikel ini menguraikan berbagai jenis tindak pidana yang terkait dengan penyalahgunaan hak suara, seperti money politics, politik identitas, intimidasi pemilih, serta manipulasi data pemilih. Selain itu, disoroti juga upaya penegakan hukum dan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga terkait untuk mengatasi tindak pidana semacam itu. Dengan pemahaman mendalam terhadap masalah ini, diharapkan dapat ditemukan solusi yang efektif untuk menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat dalam proses demokrasi di Indonesia.<br>Kata Kunci : Manipulasi data pemilih, Tindak pidana pemilihan umum, Penyalahgunaan hak suara</p> Javier Rivaldo Beckham Mandey; Donna Okthalia Setiabudhi, Cornelis Dj. Massie Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54856 Wed, 06 Mar 2024 00:00:00 +0800 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERSEROAN TERBATAS https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54857 <p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana tanggungjawab sosial dan lingkungan Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang yang berlaku dan Untuk mengetahui dan memahami sanksi hukum bagi Perseroan Terbatas yang tidak melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Tanggung jawab sosial Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-undang Nomor 40&nbsp;&nbsp; Tahun&nbsp;&nbsp; 2007&nbsp;&nbsp; Tentang&nbsp;&nbsp; Perseroan&nbsp;&nbsp; Terbatas&nbsp;&nbsp; dan&nbsp;&nbsp; Peraturan&nbsp;&nbsp; Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Undang-undang tersebut mewajibkan perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (<em>corporate social responsibility</em>).&nbsp; Konsep tanggung jawab sosial perusahaan <em>(corporate social responsibility)</em>, mengingatkan perusahan bahwa tidak hanya keuntungan <em>(profit)</em> semata yang dikejar, namun juga harus berkontribusi dan memberikan manfaat untuk masyarakat <em>(people)</em> dan juga memperhatikan kelestarian lingkungan <em>(planet). </em>2. Sanksi berisikan ancaman hukuman terhadap pelakunya yang dapat terwujud dalam berbagai jenisnya seperti sanksi administratif, sanksi keperdataan maupun sanksi pidana. Sanksi Hukum Bagi Perseroan Terbatas Yang Tidak Melaksanakan Tanggungjawab Sosial Dan Lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sama sekali tidak mengatur sanksi hukumnya, namun pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas mengatur sanksinya, namun pada bunyi aturan pada undang-undang tersebut tidak mengatur secara komprehensif pengenaan sanksi pidana melainkan hanya sanksi administratif dan ganti rugi.</p> <p>Kata Kunci : <em>tanggung jawab sosial, perseroan terbatas</em></p> Monica C. Matheosz Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54857 Fri, 01 Mar 2024 00:00:00 +0800 TINJAUAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP KEJAHATAN PINJAMAN ONLINE YANG TIDAK TERDAFTAR DI OTORITAS JASA KEUANGAN https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54874 <p>Kemajuan teknologi yang telah menghadirkan tantangan baru bagi masyarakat. Pada bidang hukum sendiri proses kemajuan teknologi ini ditandai dengan hadirnya fenomena baru dalam bidang hukum yaitu cyber crime. Aspek yang paling terasa dalam cyber crime itu sendiri ialah pada bidang layanan pinjam meminjam uang berbasi teknologi (pinjaman online). Pinjaman online sendiri terdiri dari dua yaitu pinjaman online legal dan pinjaman online illegal (tidak terdaftar) pada aspek pinjaman online illegal ada banyak hal yang masih harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah terkati untuk memberantasnya terutama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada aspek pengaturan sendiri Otoritas Jasa Keuangan tidak mengatur dan menjelaskan secara spesifik apa itu pinjaman online illegal hal ini hanya kita dapatkan pada penjelasan pasal 7 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam berbasis teknologi. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan adalah untuk mengetahui bagaimana sistem pengaturan terhadap pinjaman online illegal (tidak terdaftar di otoritas jasa keuangan) terutama dalam Undang-undang No 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kata Kunci: Teknologi, Cyber crime, Pinjaman Online, Pinjaman Online Illegal.</p> Sultan Hasan Toha Golonda; Adi Tirto Koesoemo, Herlyanty Y. A. Bawole Copyright (c) 2024 https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54874 Thu, 07 Mar 2024 00:00:00 +0800