BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Abstract
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan beban pembuktian menurut undang-undang pemberantasan korupsi di Indonesia dan apakah penentuan beban pembuktian dalam undang-undang pemberantasan korupsi tersebut merupakan hal yang tepat dalam rangka asas praduga tidak bersalah, yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. UU No. 20 Tahun 2001 telah meletakkan beban pembuktian yang lebih berat lagi kepada terdakwa dibandingkan UU No. 3 Tahun 1971, yaitu: a. untuk perkara pokok, yaitu tindak pidana dan harta benda yang disebutkan dalam dakwaan, terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda istri/suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan (Pasal 37A ayat (1)). Jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka hal ini digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37A ayat (2)); b. untuk harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi, terdakwa wajib membuktikan sebaliknya (Pasal 38B ayat (1)), sehingga merupakan pembuktian terbalik sepenuhnya. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara (Pasal 38B ayat (3)). 2. Penentuan beban pembuktian dalam UU No. 20 Tahun 2001 bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), yang menurut Oemar Seno Adji hanya dapat diterima jika kita berada dalam situasi darurat sehingga memerlukan suatu hukum darurat.
Kata kunci: beban pembuktian, korupsi