PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PORNOGRAFI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

Nirmala Pertama Uneto

Abstract


Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana pornografi dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pornografi menurut Undang-Undang Pornografi nomor 44 tahun 2008, di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Sebelum lahirnya Undang-Undang No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi ada diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pada Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, dan Pasal 533 KUHP, Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 ada di atur dalam Pasal 57 jo Pasal 36 ayat (5), Pasal 57 jo Pasal 36 ayat (6), Pasal 58 jo Pasal 46 ayat (3). Undang-Undang Perfilman No. 8 tahun 1992 ada diatur dalam Pasal 40 jo Pasal 33 ayat (1), Pasal 40 jo Pasal 33 ayat (6), Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 ada di atur dalam Pasal 18 jo Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 jo Pasal 13 ayat (1), Undang-Undang Telekomunikasi No. 36 tahun 1999 ada di atur di dalam Pasal 45 jo Pasal 21, dan Undang-Undang ITE No.11 Tahun 2008 ada diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45,  Pasal 50 jo 34 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), ayat (4).  Sedangkan pengaturan pornografi menurut Undang-Undang No.44 Tahun 2008 ada di atur dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40 dan Pasal 41. 2. Proses penegakan hukum pidana pornografi berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi berjalan tidak begitu efektif,  penulis menghubungkan faktor yang menghambat proses penegakan hukum pornografi dengan teori yang dikemukakan oleh Soekanto, antara lain: (a), Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi masih memiliki kelemahan yang perlu dikaji secara serius. Undang-Undang Pornografi dalam rumusan tindak pidana pornografi bersifat kabur (tidak pasti) sehingga berpotensi disalahtafsirkan. (b), Masih terbatasnya jumlah aparat dibandingkan dengan luasnya wilayah yang menjadi wilayah hukumnya. Selain itu, karena kurangnya pemahaman aparat tentang teknologi infomasi. (c), Kesadaran hukum masyarakat terhadap pornografi masih rendah. Seringkali masyarakat kurang bijak dalam menggunakan teknologi, sehingga mereka terjerumus untuk melakukan tindak pidana pornografi.

Kata kunci: pornografi; tindak pidana;

Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.