KAJIAN YURIDIS PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Abstract
Tujuan dilakuannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Terhadap Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Korupsi dan bagaimana Implementasi dari Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Korupsi, yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Berdasarkan pengaturan terhadap pidana mati dalam tindak pidana korupsi, dapatlah diuraikan sebagai berikut: a. pengaturan pidana mati hanya diletakkan pada soal kerugian negara, berikut penjelasan yang kontradiktif dari pengaturan tersebut:. Pertama, Penjelasan Umum UU PTPK 1999 merevisi UU PTPK 1971, yaitu bahwa “…menyatakan UU PTPK 1999 hadir karena diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi…”, namun nyatanya pidana mati hanya dikenakkan bagi kerugian negara atau perekonomian negara. Kedua, hadirnya UU PTPK 2001 dalam Penjelasan Umum menyatakan bahwa “…mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus,…”, namun demikian hal tersebut tidak sejalan dengan apa yang diatur dalam ketentuan tersebut yang terkesan belum adanya tindakan yang luar biasa pada setiap bentuk-bentuk tindak pidana korupsi, b. terjadi perubahan ruang lingkup pengaturan antara Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK 1999 dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK 2001 perihal “dalam waktu” dan diperuntukkan bagi dana-dana”. Akibatnya cakupan Pasal tersebut hanya memfokuskan pada tindak pidana yang dilakukan pada peruntukkan dana-dana yang bentuk perkaranya tercantum dalam penjelasan Pasal. Pasal tersebut dapat dipandang sebagai ketentuan “diskriminatif” terhadap tindak pidana korupsi lainnya seperti suap, gratifikasi, Penggelapan dalam jabatan, Perbuatan curang, dan Pemerasan, benturan kepentingan dalam pengadaan yang tidak mengatur mengenai rumusan delik pidana mati. 2. Berdasarkan implementasi dari pidana mati dalam tindak pidana korupsi dapatlah diuraiakan sebagai berikut: a. ketentuan normatif yang berkenaan dengan pidana mati pada Pasal 2 ayat (2) sejak pengundangannya sampai pada saat ini, belum satupun kasus korupsi yang didakwa dengan rumusan norma tersebut, padahal bila meihat kenyataan yang terjadi, sangat dimungkinkan untuk diterapkan pasal tersebut, b. Pada Pasal 2 ayat (2) berkenaan dengan unsur keadaan tertentu itu, tidak dirumuskan secara jelas dalam norma Pasal, melainkan rumusan deliknya dicantumkan dalam Penjealasan Pasal. Ini berakibat pada ketidakjelasan rumusan dalam suatu ketentuan normatif Pasal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan ketentuan tersebut telah menyimpang dari asas pembentukan peraturan perundang-undang yang diatur dalam Pasal 5 huruf f[1] yaitu asas kejelasan rumusan, c. Dalam hal tindak pidana korupsi perihal bencana nasional, bisa saja pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi tetapi pada tataran bencana lokal atau daerah tidak dapat dijerat dengan Pasal 2 ayat (2). Keadaan ini pula yang Penulis rasa sangat mereduksi semangat memberantas korupsi dalam “keadaan tertentu” itu.
Kata kunci: pidana mati; korupsi;[1] Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Full Text:
PDFRefbacks
- There are currently no refbacks.