KEDUDUKAN SAKSI KORBAN DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA
Abstract
Penulis telah menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan mempelajari kepustakaan hukum, himpunan peraturan perundang-undangan, artikel-artikel hukum, dan berbagai sumber tertulis lain. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis yang bersifat kualitatif. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa orientasi korban dalam peradilan pidana tidak secara tegas diatur dalam KUHAP, para ahli menulis mengenai peradilan pidana yang mana pada umumnya menyoroti peran dan fungsi peradilan pidana serta hak-hak tersangka agar tidak diperlakukan semena-mena oleh aparat/penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim). Bahwa Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur secara tegas tentang Kedudukan Kesaksian Korban Tindak Pidana, hanyalah hak-hak tersangka/terdakwa yang diperhatikan. Jadi saksi korban hanya sebagai saksi semata-mata, sama seperti saksi-saksi lainnya. Peran yang lebih besar dari saksi korban hanya dalam delik-delik aduan Selanjutnya saksi akan “memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain dari pada yang sebenarnya” (Pasal 76 jo Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Bahwa kedudukan sebagai saksi merupakan kewajiban bagi setiap orang. Karena itu saksi yang dipanggil oleh penyidik atau penuntut umum atau pengadilan, wajib memenuhi panggilan itu, dan jika ia menolak untuk memenuhi panggilan/memberikan keterangan ia dapat dituntut dan diancam pidana berdasarkan ketentuan perudang-undangan yang berlaku. Saksi yang tidak memenuhi panggilan/tidak mau atau menolak memberikan keterangan kepada penyidik atau penuntut umum diancam pidana penjara selama empat bulan dua minggu (Pasal 216 KUHP).
Kata kunci: Saksi korban, pembuktianFull Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.35796/les.v3i5.8228
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Journal Lex Et Societatis is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.