PENETAPAN PUTUSAN ULTRA PETITA DALAM PTUN BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 5 K/TUN/1992
Abstract
Tujuan dilakukannya penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana asas ultra petita dalam PTUN berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 5 K/TUN/1992 dan bagaimana implementasi ultra petita dalam PTUN di manadengan merode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. UU PTUN tidak mengatur secara tegas larangan pembuatan putusan yang mengandung ultra petita. Sehingga dapat dikatakan larangan ultra petita di lingkungan PTUN tidaklah berlaku mutlak. Meskipun demikian, pemahaman tentang larangan ultra petita dalam Peradilan Tata Usaha Negara juga masih dianut oleh Sebagian hakim-hakim PTUN. Adalah merupakan hal yang tabu dan dianggap melanggar konvensi yang sifatnya universal manakala hakim TUN membuat putusan yang sifatnya melebihi Petitum. Kredo yang dipegang kuat adalah, hakim tidak boleh duduk dikursi eksekutif dengan putusan-putusannya yang sifatnya ultra petita. Dalam praktik, diktum atau amar ultra petita sudah sering digunakan oleh hakim-hakim PTUN. Secara substantif, ternyata putusan-putusan ultra petita di PTUN memiliki karakter yang cukup beragam, misalnya bentuk amar ultra petita reformatio in pieus, reformatio in melius, perintah pengulangan proses, pembatalan keputusan bukan objek sengketa, akan tetapi secara materil terkait dengan objek sengketa, penambahan amar substansial dan amar-amar yang bersifat deklaratif. Dibuatnya amar ultra petita dalam diktum putusan hakim dilatarbelakangi oleh berlakunya asas hakim aktif dan asas pembuktian bebas, asas kepastian hukum dan tertib penyelenggaraan negara, serta penerapan hakim sebagai penyelesaian sengketa dalam sistem peradilan administrasi. Keterbatasan bentuk wewenang yang dimiliki hakim, cenderung membuat sengketa administrasi menjadi sengketa yang tidak terselesaikan. Padahal di sisi lain, putusan PTUN diharapkan menjadi instrumen utama dan terakhir dari sekalian proses sistem PTUN, tentunya juga diharapkan sebagai instrumen penyelesaian sengketa dan pesan keadilan. Karenanya, sesuai dengan asas dominus litis, hakim administrasi dituntut untuk memaksimalkan perannya dalam penyelesaian sengketa, termasuk dalam pembuatan diktum ultra petita, sehingga putusan hakim dapat mencerminkan rasa keadilan hukum masyarakat. 2. Dalam pelaksanaan ultra petita sehubungan dengan penerapannya terdapat kendala-kendala yang membuat penerapan ultra petita terlihat ambigu dalam penerapannya. Terdapat kendala secara teoritis dimana hakim terikat dengan doktrin-doktrin berupa larangan-larangan dalam mengambil keputusan terkait ultra petita yang dimana hal ini melekat pada sebagian besar ahli maupun praktisi hukum di negara Indonesia terkhusus dalam praktik Peradilan Tata Usaha Negara dimana Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak dituangkan secara tegas perihal yang mengatur tentang larangan ataupun kebolehan hakim terhadap penggunaan asas ultra petita. Termasuk didalamnya minimnya yurisprudensi yang dapat digunakan hakim dalam memutuskan sengketa tata usaha negara yang berkaitan dengan Penerapan asas ultra petita.
Kata kunci: ultra petita;