KEWENANGAN MELAKUKAN DISKRESI OLEH PENYIDIK MENURUT UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN
Abstract
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan diskresi dalam sistem hukum pidana dan bagaimana penerapan diskresi penyidik menurut UU No. 2 Tahun 2002. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan diskresi dalam sistem hukum pidana, ternyata masih belum tegas, belum disebut istilah diskresinya, dan masih perlu penafsiran atau interpretasi dalam menentukan pasal-pasal mana yang memberi kewenangan bagi aparat penegak hukum dalam komponen sistem peradilan pidana untuk melakukan diskresi. Pada Hakim, setiap perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa, diadili dan diputus, dilarang menolaknya dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pada Jaksa Agung, mengesampingkan perkara demi kepentinga umum, sedangkan pada Kapolri, menetapkan, menyelenggarakan dan mengendalikan kebijakan teknis Kepolisian. Ketiga aparat penegak hukum tersebut pada dasar hukumnya masing-masing tidak terang-terangan mengatur tentang diskresi, tetapi makna dari diskresi tersirat di dalamnya. 2. Penerapan diskresi oleh penyidik menurut dasar hukumnya, harus memperhatikan beberapa hal, yakni tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum dan memperhatikan kode etik profesi, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan, harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, pertimbangan layak berdasarkan keadaan yang memaksa atau keadaan yang sangat perlu, dan menghormati hak asasi manusia (HAM). Penerapan diskresi oleh penyidik dapat ditemukan dalam proses penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan.
Kata kunci: Kewenangan melakukan diskresi, Penyidik.