TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKU DAN KORBAN PROSTITUSI ONLINE BERDASARKAN KUHPIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG ITE
Abstract
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana menurut KUHPidana dan bagaimanakah kajian yuridis pelaku dan korban prostitusi online berdasarkan KUHPidana dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE, di manadengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Pertanggungjawaban pidana berkaitan amat erat dengan unsur kesalahan, dimana asas dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Untuk adanya kesalahan yang membuat seseorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana harus dipenuhi dua syarat atau unsur, yaitu: 1) Adanya kemampuan bertanggung jawab dari orang yang bersangkutan; dan, 2) Adanya kesengajaan atau kealpaan. Â Konsepsi pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu : 1). ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat (adanya perbuatan pidana); 2). ada pembuat yang mampu bertanggungjawab; 3). ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; dan 4). tidak ada alasan pemaaf. 2. Dalam ketentuan hukum Indonesia, tidak ada satupun hukum yang mengatur mengenai prostitusi atau pelacuran tetapi yang diatur didalam KUHPidana mengenai kejahatan yang menyebabkan dan memudahkan perbuatan cabul (Pasal 296, Pasal 298 dan Pasal 506) serta kejahatan perdagangan perempuan dan anak yang belum dewasa (Pasal 297). Promosi prostitusi dalam bentuk tulisan maupun gambar dapat dikategorikan sebagai informasi elektronik yang bermuatan melanggar kesusilaan. Perbuatan promosi prostitusi dapat dijerat melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tidak memberikan ancaman pidana atas sebuah tindakan pelacuran online yang dikelola oleh si pelaku prostitusi kepada pelanggan-pelanggannya. Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang ITE memberikan ancaman hanya pada perbuatan yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan. jika perbuatan yang dilakukan berisi pesan untuk melacurkan dirinya tetapi tidak disebarluaskan ke publik maka tidak memenuhi unsur dari Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang ITE. Ada beberapa faktor terjadinya kejahatan prostitusi melalui media elektronik atau prostitusi online, yaitu kemajuan teknologi, gaya hidup, ekonomi dan faktor pendidikan yang rendah.
Kata kunci: prostitusi; prostitusi online;