KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) UNTUK MENEMUKAN KEBENARAN MATERIL DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Abstract
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana syarat untuk elakukan pemecahan perkara (splitsing) dan bagaimana pemecahan perkara (splitsing) dapat diterima ditinjau dari sudut kepentingan penuntutan dan dapat diterima ditinjau dari sudut hak asasi manusia,yan mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Syarat untuk melakukan pemecahan perkara (splitsing) pasal 142 KUHAP adalah : Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Dengan demikian, apabila dalam 1 (satu) berkas perkara itu hanya dimuat 1 (satu) tindak pidana saja, penuntut umum tidak dapat melakukan pemecahan perkara (splitsing) sekalipun pelakunya ada beberapa orang; Beberapa tindak pidana itu dilakukan oleh beberapa orang tersangka; Yang tidak termasuk dalam ketentuan pasal 141. 2. Kepentingan penuntutan adalah agar penuntut umum dapat melakukan penuntutan dan penuntutan itu nantinya di pengadilan dapat mencapai tujuannya. Kepentingan penuntutan akan membenarkan dilakukannya pemecahan perkara (splitsing) di mana saksi di suatu perkara menjadi terdakwa di perkara lainnya. Ditinjau dari sudut hak asasi manusia, setidaknya ada dua asas yang tidak membolehkan pemecahan perkara (splitsing) sehingga saksi di suatu perkara menjadi terdakwa di perkara lain, di mana dua perkara itu saling berkaitan erat, yaitu : Asas yang terkandung dalam pasal 166 KUHP bahwa orang tidak dapat diwajibkan memberatkan diri sendiri, khususnya untuk melakukan perbuatan yang yang mungkin mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi dirinya sendiri. Pasal 14 ayat (3) huruf (g) dari “The International Covenant on Civil and Political Rightsâ€, yang menentukan bahwa seseorang yang dituntut pidana setidak-tidaknya (minimum) berhak sepenuhnya atas jaminan untuk tidak dipaksa bersaksi melawan diri sendiri atau untuk mengaku bersalah.
Kata kunci: penecahan perkara; splitsing;