PERKAWINAN SEDARAH SUKU POLAHI GORONTALO DITINJAU DARI PASAL 8 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

Authors

  • Gabrillia M. Meteng

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui bagaimana sistem yang berlaku dalam perkawinan adat suku Polahi Gorontalo dan bagaimana aturan hukum perkawinan sedarah suku Polahi Gorontalo ditinjau dari Pasal 8 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yang dengan meode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Perkawinan sedarah (inses) pada masyarakat Polahi, secara historis diperkirakan berlangsung sejak abad 17. Suku Polahi tidak menganggap perkawinan sedarah sebagai tindakan yang tabu. Mereka bisa mengkawinkan anggota keluarga inti, seperti ayah-anak, kakak-adik, ibu-anak hingga kakek-cucu maupun nenek-cucu.  Proses perkawinan sedarah atau sumbang yang dilakukan oleh masyarakat Polahi dilakukan dengan sangat sederhana, mereka tidak mengenal jenjang pacaran. Saudara sekandung yang perempuan dan laki-laki, bila sudah akil baliq dapat melakukan persetubuhan (momeku) – dengan kesepakatan, baik melalui atau tanpa upacara perkawinan. Sebagai kelompok masyarakat yang melarikan diri ke hutan belantara, di masa VOC, perkawinan sedarah disebut sebagai cara untuk mempertahankan eksistensi kelompok. Pola hidup berpindah di tengah hutan membuat mereka sulit berinteraksi dengan kelompok luar, yang berdampak keberlanjutan generasi harus diupayakan melalui perkawinan di internal suku Polahi. Mereka, atas dasar kekhawatiran tidak memiliki anak serta ancaman punah, pada akhirnya mengizinkan perkawinan sedarah dalam keluarga inti. 2. Pasal 8 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 mengatur larangan tentang perkawinan sedarah yang dikategorikan sebagai berikut: a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/ bapak tiri; d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/ paman susuan; d) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang, dan; d) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. 3. Perkawinan sedarah masyarakat suku Polahi dapat dinyatakan tidak sah jika mengacu pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Namun praktik perkawinan sedarah yang berlaku di komunitas suku Polahi merupakan konstruksi kebudayaan yang telah dibentuk selama ratusan tahun, dengan motif menjaga keberlanjutan generasi dan bukan bersifat personal ataupun antar personal, tapi lebih bersifat kolektif. Dalam artian, penerapan pasal 8 UNDANG-UNDANG nomor 1 tahun 1974 pada komunitas suku Polahi adalah tindakan membatalkan perkawinan keseluruhan anggota suku.

Kata kunci: perkawinan sedarah; suku polahi;

Author Biography

Gabrillia M. Meteng

e journal fakultas hukum unsrat

Downloads

Published

2022-01-21