IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM REDISTRIBUSI TANAH EKS HAK ERPACHT (Suatu studi di Desa Lopana Satu Kecamatan Amurang Timur Kabupaten Minahasa Selatan)
Abstract
ABSTRAK
Konflik Agraria adalah salah satu konflik yang sering terjadi di Indonesia, Provinsi Sulawesi utara merupakan salah satu wilayah yang rentan terjadi konflik agraria. Seperti yang terjadi didesa Lopana Satu, kecamatan Amurang Timur, kabupaten Minahasa Selatan, dimana terjado konflik agrarian akibat adanya ketimpangan terhadap penguasaan dan kepemilikan tanah diatas redistribusi   tanah eks hak erpacht perkebunan kelapa “malebuâ€. Dalam sejarahnya setelah redistribusi   tanah eks hak erpacht dijadikan sebagai pemukiman pada tahun 1964, pertama kali ditempati oleh 18 kepala keluarga. Luas tanah tersebut adalah 55 Ha. Dan pada tahun 2003 di keluarkanlah legalitas hukum atas kepemilkan tanah melalui “PRONA†dengan luas wilayah sekitar 6 Ha. Permasalahan timbul ketika ada beberapa orang datang dengan membawah bukti legalitas atas kepemilikan tanah tersebut, dan mengklaim bahwa ada tanah yang dimiliki oleh pemegang sertifikat itu, dan sudah ditempati masyarakat desa Lopana Satu. Hal itu tentunya berpotensi menyebabkan terjadi konflik antara masyarakat dan warga pemilik sertifikat-sertifikat tersebut. Hasil penelitian menunjukan permaslahan implementasi kebijakan redistribusi   tanah eks hak erpacht, di desa Lopana Satu, Kecamatan Amurang Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, belum berjalan baik, disebabkan karena berbagai dimensi implementasi seperti yang dikemukakan Edwards III, yaitu: Komunikasi, Sumber Daya Manusia, Disposisi, termasuk Struktur Birokrasi yang ada, belum maksimal.
Â
Kata Kunci : Redistribusi   Tanah, Implementasi Kebijakan.
Â
Â
ABSTRACT
Agrarian conflict is one of the conflicts that often occurs in Indonesia, North Sulawesi Province is one of the areas that is prone to agrarian conflicts. As happened in Lopana Satu village, Amurang Timur sub-district, South Minahasa district, where there was agrarian conflict due to imbalances in land control and ownership over land redistribution of the former erpacht rights of “malebu†coconut plantations. In its history, after the redistribution of the land, the former erpacht rights were made into settlements in 1964, it was first occupied by 18 heads of families. The land area is 55 Ha. And in 2003 the legal legality of land ownership was issued through "PRONA" with an area of about 6 hectares. The problem arose when some people came with proof of legality of ownership of the land, and claimed that there was land that was owned by the certificate holder, and was already occupied by the people of Lopana Satu village. This of course has the potential to cause conflict between the community and the residents who hold these certificates. The results showed that the problem of implementing the land redistribution policy of ex-erpacht rights, in Lopana Satu Village, Amurang Timur District, South Minahasa Regency, has not been going well, due to various dimensions of implementation as stated by Edwards III, namely: Communication, Human Resources, Disposition, including the existing bureaucratic structure, it is not optimal.
Â
Keywords: Land Redistribution, Policy Implementation.